Sist ~ Unni ~ Juu ~ Lala

“Gelombang biruu ~ Riwayatmu kini~ Sedari dulu kalaa ~ Indosat Mentari”, dengan nada keroncong yang kemudian berubah menjadi nada jazz dia menyanyikan lagu yang dicampur aduk kaya sop buah. Dia teman sekamarku, namanya Mia. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Unni. Namun belakangan ini aku lebih sering menggunakan kata “Juu” atau kata “Lala” untuk memanggilnya. Aku tak begitu ingat  apa yang mendasari aku memanggilnya dengan nama “Juu”. Berbeda dengan sebutan “Lala”, sebutan “Lala” punya dasar yang sangat kuat, itu karena dia peternak Lala makanya aku memanggilnya seperti itu.

Sebenarnya sudah dari dulu aku ingin menuliskan tentang dia, kemaren juga kepikiran mau nulis buat kado ultahnya yang ke 21 (udah tua dia) cuma belum sempet-sempet. Kadang memang begitu, yang kita rencanakan kebanyakan batal dikerjakan. Sedangkan apa yang tidak kita sengaja malah berhasil kita kerjakan. Seperti sekarang, aku yang sedang membuka blog namun masih belum kepikiran mau nulis apa akhirnya malah nulis tentang dia.

Cerita tentang dia bakal panjaang banget, mulai dari awal bertemu sampai sekarang hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Dia juga yang selalu menemani hari-hariku. Orang yang paling sering bersamaku pokoknya. Ngomong-ngomong tentang pertemuan, aku pertama kali bertemu dia itu tepatnya tanggal 1 September 2010. Sebelumnya sih dia ngeadd facebook aku dulu, terus kita wall-wallan gitu, eh berlanjut deh PDKTnya, tuker-tukeran nomor hp, sampai ke smsan. Pas smsan itu rasanya kayak udah kenal lama padahal sama sekali belum pernah ketemu.  Aku sms dia pas aku mau berangkat ke Jakarta, saat itu selain berpamitan dengan sahabat-sahabat dekatku disini aku juga berpamitan dengan dia. Satu-satunya sms yang mengena di hati adalah sms dari dia mungkin karena dia sebentar lagi juga merasakan apa yang aku rasakan.

Jakarta, 1 September 2010, hari itu menjadi hari  yang spesial dan tidak akan terlupakan, hari dimana aku dan teman-temanku anak beasiswa Politeknik Manufaktur Astra untuk pertama kalinya dipertemukan. Aku terlalu bersemangat, hari masih pagi ketika aku sampai di kampus dengan selamat. Sesampainya di kampus, aku segera mengeluarkan handphone dan mengetikkan pesan singkat kepada Mia. Kemudian aku berjalan di samping Gedung B. Saat itu aku melihat seseorang berpakaian sama denganku atasan putih, bawahan hitam sedang tengok-tengok, sepertinya dia sedang mencari seseorang. Aku pun mendekatinya, dan aku langsung berkata “Mia ya?”, dan dia pun membalas “Intan ya?”. Kami saling tersenyum dan berjabat tangan. Pertemuan itu sungguh indah dan aku tidak pernah mengira pertemuan itu menjadi awal kisah-kisah menarik tentang kebersamaan kami.

Kami sering bersama entah dalam perkuliahan ataupun kegiatan organisasi di kampus. Saking seringnya bersama, teman-teman menjuluki kami sebagai “pasangan yang tak terpisahkan”. Sejujurnya kami sama sekali tidak pernah merencanakan agar selalu bersama. Namun takdir lah yang selalu menyatukan kami sampai akhirnya ketika tahun kedua diperkuliahan, kami memutuskan untuk menjadi teman sekamar.

Aku memandangnya sebagai sosok yang berbeda dariku. Salah satunya adalah dia pendiam sedangkan aku begitu cerewet. Jika di pertandingan sepak bola ada ball position, maka di lingkaran kehidupan kami ada talk position atatu posisi yang lebih sering berbicara. Perbandingannya cukup jomplang, mungkin aku 60% dan dia 40%. Aku lebih sering bercerita mengenai apapun sedangkan dia lebih senang mendengarkan cerita. Baiklah, dia memang seperti itu, tidak masalah bagiku. Namun ada satu hal yang membuatku gemes, ketika dia sedang ada masalah dan dia ga mau cerita ke siapapun, dan saat itu aku bilang bahwa “hey kamu di sini punya banyak sahabat, berbagilah dengan sahabatmu. Sahabat itu ada dikala sedih maupun senang.”

Dia rajin, rajin banget malah. Dia selalu bangun jam empat pagi, sholat subuh, tadarus sedangkan saat itu aku masih terlelap tidur dengan bantal dan gulingku tersayang. Tidak hanya itu, banyak banget yang membuatku belajar darinya terlebih ketika aku dan dia memutuskan untuk menjadi teman sekosan, terlebih sekamar. Dia selalu mengajakku sholat sunnah setelah maghrib. Selain rajin dia juga pintar. Kalau dibandingkan denganku, aku tidak ada apa-apanya lah. Ketika dia SMA aja dia menjadi salah satu siswa terpintar di kelasnya. Dia juga beberapa kali ikut lomba mewakili sekolahnya. Sedangkan aku jelas tidak sepintar dia.

Seperti yang aku katakan tadi bahwa aku sering menghabiskan waktu bersamanya. Bahkan aku kadang berpikir bahwa beberapa kali aku dan dia mengalami nasib yang sama. Penah suatu hari saat aku dan dia di halte bis, menunggu salah satu metromini untuk menuju ke Pulogadung,  kami dalam perjalanan menuju ke Bekasi, menginap ke rumah teman kami untuk mengikuti seleksi interview di salah satu perusahaan esoknya. Beberapa lama menunggu, belum d satupun metromini yang menampakkan batang hidungnya. Selagi menunggu aku pun bertanya kepadanya “Kamu pernah ga bayangin jalan hidup kita akan seperti ini?”. “Sama sekali tidak”, katanya. Aku pun sama sepertinya. Aku, tepatnya kami sama sekali tidak penah membayangkan akan hidup dikerasnya ibukota seperti ini. Terlebih lagi kami sama-sama tidak mempunyai saudara dekat disini. Aku hanya mempunyai dia, begitu juga dia semoga berpendapat sama denganku. Disadari atau tidak, mungkin nasib kami yang sering sama juga membuat kami saling menguatkan satu sama lain. Seperti ketika kami akan mengikuti ter di Cikarang, beruntung sekali aku bisa bersama dengannya, sama-sama menunggu metromini, sama-sama menginap di rumah teman dan sama-sama sampe di Cikarang. Kalau aku sendiri mungkin aku kuwalahan menghadapi Jakarta yang begitu penuh dengan kejutan.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: