Dia Dokterku

Dulu setiap kali ada pertanyaan tentang cita-cita aku selalu menuliskan “dokter”. Ya, aku memang bercita-cita menjadi dokter, bagiku dengan menjadi dokter, aku bisa menyembuhkan orang sakit, khusus orang yang tidak mampu aku akan memberikan gratis biaya pengobatan. Sungguh mulia sekali menjadi seorang dokter itu.  Tidak ada hal tanpa alasan, seperti tidak ada asap tanpa api. Salah satu yang mendasari  cita-citaku semasa kecil itu adalah seseorang yang sangat menginspirasiku untuk menjadi sepertinya. Dia adalah dokterku semasa aku kecil, aku biasa memanggilnya Pak Bagus.

Aku bertemu dengannya ketika aku masih duduk di bangku SD. Saat itu aku menderita sakit batuk-batuk dan berat badanku semakin lama semakin menurun. Bapak dan ibukku sudah membawaku ke beberapa dokter namun aku masih saja belum sembuh. Suatu hari, atas saran dari saudara, bapak dan ibukku membawaku ke Pak Bagus. Walaupun tempat praktiknya lumayan jauh dan kami harus naik motor tua bertiga untuk sampai disana namun demi kesembuhanku apapun dilakukan oleh kedua orang tuaku. Sesampainya di tempat praktik Pak Bagus, ibuk mendaftarkanku ke mba resepsionis, ada satu lembar kertas kuning yang ditulisi namaku dan siapa sangka kertas itu nantinya selama beberapa bulan terakhir akan penuh terisi sebanyak kunjunganku ke Pak Bagus.

Beliau begitu ramah dan penyayang itu kesan pertama yang aku tangkap. Ketika beliau bertanya “Siapa namanya?”, saat itu aku menjawab Intan. Beliaupun tersenyum dan segera menyuruhku berbaring untuk diperiksa. Beberapa saat setelah diperiksa, dokter menyuruhku untuk ronsen paru-paru dan kembali menyerahkan hasil ronsen kepadanya. Aku, bapak, dan ibuk pun ke rumah sakit untuk ronsen paru-paru dan kembali ke tempat dokter untuk menyerahkan hasil ronsen. Dokter menempelkan hasil ronsen ke sebuah alat yang ada bersinar, disana paru-paruku terlihat jelas. Dokter menjelaskan ada sedikit masalah dengan paru-paruku. Singkatnya aku menderita flek paru-paru. Untuk mengobatinya tidak susah, hanya aku diharuskan minum obat selama enam bulan. Tiga kali sehari dan tidak boleh telat satu kali pun. Jika lupa sekali maka aku harus mengulanginya dari awal. Ini merupakan cobaan yang berat bagiku dan keluargaku. Namun demi kesembuhanku, lagi-lagi apapun akan dilakukan. Selain minum obat selama enam bulan, dokter juga mengharuskanku kontrol secara rutin dua minggu sekali. Itulah mengapa aku bilang bahwa kertas kuning pendaftaranku itu akan terus terisi karena aku akan sering bertemu dengan dokter.

Semenjak pulang dari dokter dan selama enam bulan ke depan aku mulai minum tiga jenis obat. Dua puyer masing-masing berwarna merah dan putih juga satu sirup merah yang manis. Aku harus meminumnya tiga kali sehari setelah makan, dan tidak boleh telat apalagi kelupaan. Beberapa bulan pertama aku melaluinya dengan mudah. Walaupun kedua puyer itu pahitnya minta ampun tapi tidak masalah karena diakhiri dengan sirup yang manis. Namun beberapa bulan belakangan aku mulai merasakan bosan dengan obat-obatan yang harus aku minum. Tidak peduli yang pahit ataupun yang manis. Semuanya aku bosan. Bahkan aku sudah mual sebelum meminum obat itu. Mungkin karena keseringan minum jadi aku mulai enek. Saat itu ketika sedang berkunjung ke dokter, ibuk menceritakan apa yang aku alami kepada dokternya. Karena saat itu masih kecil, aku takut dokter akan marah kepadaku karena aku bandel malas minum obat. Namun ternyata aku salah, dokternya justru menasehatiku dengan baik. Beliau bilang “Kalau Intan males minum obat ntar lama  sembuhnya. Intan kan anak pintar, jadi harus rajin minum obatnya.” Aku pun mengangguk takluk.

Bulan terakhir, ketika ketiga obatku hanya tinggal satu buah maka aku, ibuk, dan bapakku kembali mengunjungi dokterku. Saat itu dokter kembali menyuruhku ronsen untuk melihat paru-paruku pasca minum obat selama enam bulan. Setelah dilihat, alhamdulillah pau-paruku sudah membaik dan kembali normal. Saat itu juga dokter menyatakan bahwa aku telah sembuh dari penyakit flek paru-paru dan juga sudah berhasil menjadi anak yang pintar karena sudah rajin minum obat.

Kunjunganku ketika dokter menyatakan aku telah sembuh dari flek paru-paru ternyata bukan kunjungan terakhirku ke Pak Bagus. Aku memang lumanyan sering sakit ketika masih kecil dan Pak Bagus adalah satu-satunya dokter yang aku orang tuaku percaya dan tentunya aku percaya untuk menyembuhkanku. Saking percanyanya saat aku sudah sekolah di kelas 1 SMP aku masih saja periksa ke Pak Bagus. Padahal jelas-jelas di bawah namanya ada tulisan “Dokter Anak” makanya tak aneh kalau pasiennya semua anak-anak, kecuali aku mungkin karena aku sudah tumbuh besar.

Semakin aku tumbuh aku menjadi semakin jarang sakit. Itu juga yang membuat aku sudah tidak pernah datang ke Pak Bagus. Sampai suatu hari ada tetanggaku yang anaknya sakit dan ibuk menyarankan agar membawa anaknya ke Pak Bagus. Seperti ibuk dulu yang menerima saran dari saudaraku untuk membawaku ke Pak Bagus, begitu pula tetanggaku yang langsung membawa anaknya ke Pak Bagus. Sampai disana seperti yang dulu dia lakukan kepadaku, begitu tetanggaku membuka pintu dan bertemu Pak Bagus, maka Pak Bagus pun bertanya kepada anaknya “Siapa namanya?”, persis seperti yang dia lakukan kepadaku. Dia memang ramah dan penyayang dan itu akan selalu menjadi sifat dasarnya. Kemudian Pak Bagus membaca kertas kuning yang ditulis oleh mba resepsionis dan melihat alamat dari tetanggaku. Ketika itu Pak Bagus menanyakan kepada tetanggaku “Dulu saya juga pernah punya pasien yang sering kesini. Anaknya cewek. Sudah besar mungkin sekarang.” Dengan cepat tetanggaku berkata “Intan pak?”, dan pak Bagus berkata “Iya Intan, gimana dia sekarang?”. “Sudah kelas 1 SMA pak, tumbuh dengan sehat dan pintar.” Pak Bagus pun tersenyum dan mulai memeriksa anak tetanggaku.

Aku merasa senang ketika mendengar tetanggaku menceritakan bahwa Pak Bagus masih mengingatku.  Aku pun ingin mengucapkan terima kasih kepadanya atas segala pertolongannya kepadaku. Terutama ketika aku masih kecil. Aku pun berkeinginan untuk bisa menjadi dokter seperti beliau, dokter yang pintar, ramah, dan penyayang. Harapanku, ketika kelak aku sudah bisa menjadi dokter aku ingin berterima kasih kepadanya dan semoga beliau masih mengingatku. Namun mungkin itu hanya sebuah harapan karena aku sekarang sudah berjalan jauh dari cita-citaku semasa kecil karena lebih memilih dunia IT daripada dunia kesehatan namun aku akan tetap mengenang dan berterima kasih banyak kepada dokterku, Pak Bagus. “Terima kasih banyak Pak, sudah merawat dan perhatian kepadaku. Juga terima kasih sudah mengingatku. Bapak yang ramah dan penyanyang, semoga Alloh selalu menyanyangi dan menempatkan Bapak di tempat terbaik di sisiNya.”

Didedikasikan untuk Pak Bagus, dokterku

Jakarta, 29 Mei 2013

5.23 Waktu Tana

Advertisement

16 thoughts on “Dia Dokterku

      1. Turut berduka juga dengernya sis 😦

        Semoga amal dan kebaikan Pak Bagus dapat balasan yang setara dari Allah SWT. Aamiin.. 🙂

      2. Iya saya cuma bantu moderasi 😀
        tadinya mau ikutan A nya Om Fikri juga, gak tau deh kalo udah begini boleh ikut apa engga ^^

      3. Siap… ^^
        Insya Allah dapet inspirasi.. Sementara ini kebanyakan ide2 absurd sebenernya, celoteh dari temen2 ngobrol, cuma belum sempet nuangin ke tulisan.. Rata2 tulisan di blog ku juga pake bahasa yang baku sebenernya, jadi bingung kadang mau ngembangin ide2 yang lucu, lagi belajar nulis 😀

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: