Tempat Hatiku Berlabuh ~ Part 1

Aku berlari menaiki anak tangga yang masih belum terlihat ujungnya, baru pertama kali ini aku melangkahkan kaki di deretan anak tangga berwarna coklat ini. Dengan rok panjang hitam yang sekarang menutupi kakiku, rasanya langkahku terhambat ditambah lagi sepatu pantofel cewek yang berhak sekitar 1 cm ini pun menambah lama langkahku. Aku terus saja melangkahkan kaki menaiki anak tangga, hingga akhirnya aku melewati seseorang yang juga berjalan menuju ke atas. Seorang cowok bertopi hitam dengan buku berada di tangannya. Dia berjalan dengan tenang, sejenak aku pelankan langkah kakiku, sedikit melirik ke arahnya, hanya sebentar dan akupun kembali berjalan melewatinya yang sejak tadi masih memandang buku yang berada di tangannya.

Akhirnya sampai juga di ruangan yang aku cari, ruangan luas yang cukup menampung sekitar seratus orang. Aku masuk ke ruang itu, disana telah terlihat banyak orang yang berpakaian tak jauh beda dari pakaianku saat ini, sedang duduk manis sambil menunggu kedatangan yang punya hajat. Bangku yang tidak depan dan tak juga paling belakang, disinilah aku memilih posisi yang menurutku strategis.

Disinilah aku akan memulai cerita, tentang diriku dan kisah-kisah yang aku alami belakangan ini. Namaku Dirana Melati Putri, biasa dipanggil Rana.  Aku baru tahun pertama duduk di bangku kuliah, sebagai seorang mahasiswi di universitas swasta ternama di Ibukota. Hari ini pertama masuk ke kampus, sebelumnya kami dikumpulkan di ruangan khusus untuk mendapatkan sedikit motivasi, mengingat kampusku ini bukan sembarang kampus. Disini kalian akan kuliah seharian penuh, dengan disiplin yang tinggi, tidak ada main-main dan bla bla bla. Kata-kata itulah yang aku dengar  tentang metode belajar di kampus baruku ini. Saking disiplinnya bahkan kampusku mewajibkan seluruh mahasiswanya memakai baju seragam. Yah, lumayan menantang, aku suka yang seperti ini.

Seorang cowok bertopi yang sempat berpapasan denganku memasuki ruangan yang sama sepertiku, bedanya ia langsung melangkahkan kaki menuju kursi paling depan, dan masih saja tangannya memegang buku yang sama seperti sepuluh menit yang lalu. Sejenak forumpun dibuka, beberapa mahasiswa melontarkan argumennya, sesekali bertanya atau sekedar sharing tentang pengalamannya. Mereka terlihat begitu antusias dan sangat kritis menanggapi argumen satu dan yang lain. Saling beradu pendapat dan berusaha menonjolkan diri adalah hal yang biasa.

Aku hanya duduk di deretan belakang bersama empat orang cewek lainnya. Hanya dua orang teman cewek yang aku kenal, mereka adalah teman SMA ku yang sekarang sekampus denganku dan yang satunya adalah teman seprodiku, itupun baru pertama ini aku bertemu dengannya. Sedang yang lain, aku masih belum mengenal mereka. Ketika deretan depan saling mengangkat tangan berebut menjawab pertanyaan yang diajukan bapak pembimbing, kami deretan belakang hanya diam dan sesekali bercakap, sekedar perkenalan biasa.

Beberapa menit disini, aku mulai merasa asing. Aku mungkin masih berpikir panjang untuk mengeluarkan suara. Bukan karena aku pendiam, faktanya aku memang cerewet. Alasan logisnya selain karena aku malu dengan logatku yang masih kental dengan bahasa daerah, juga karena aku memang bukan tipe orang yang ingin menonjolkan diri, atau mungkin aku memang kurang kritis dalam menanggapi semua topik yang ada. Entahlah.

Hari pertama berlalu, hanya perkenalan singkat dan pembagian jadwal kegiatan kami untuk beberapa hari ke depan.

Esok pagi, masih tetap berpakaian kemeja putih dengan rok hitam panjang, aku dan seorang temanku berangkat ke kampus. Masih di ruang yang sama dan dengan wajah-wajah yang sama dengan hari kemarin. Suasana masih sama, saling berkenalan dan obrolan singkat menghiasi ruangan yang mulai akrab denganku.

Suasana sedikit tenang ketika bapak pembimbing kami datang, sebuah sapaan yang penuh dengan semangat selalu beliau ucapkan ketika bertemu kami. Suatu perjanjian antara kami dengannya. Ketika beliau mengucapkan, “Selamat Pagi semua”, maka serentak kami akan menjawab “selamat pagi”. Beliau selalu mengucapkan itu, tanpa mengenal waktu, entah pagi, siang, ataupun malam, tetap dengan satu sapaan yang sama. Ditambah dengan embel-embel “Semangad Pagi” yang selalu membangkitkan semangat kami. Bahkan ketika waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB dan kami semua merasa lelahpun, kami harus bersemangat layaknya semangat kami dipagi hari dengan jargon “semangad pagi”. Okelah, akan ku coba masuk ke dunia baru ini. Tak ada masalah bagiku.

“ Semangad pagi”…!!!
Suara kami pun menggelegar membangunkan matahari yang masih sayup-sayup menampakkan dirinya. Bapak pembimbing kami pun segera memulai kegiatan pagi ini. Agenda hari ini adalah pembagian kelompok, masing-masing kelompok akan diberikan tugas untuk membuat makalah dan mempresentasikannya di akhir pertemuan dan finalnya akan dipilih satu kelompok terbaik. Suatu kompetisi, hal kedua yang aku dapatkan dalam dunia baruku ini, kompetisi untuk menjadi yang terbaik, untuk menunjukkan pada semuanya bahwa dirimu lah yang terbaik. Jauh dari duniaku yang dulu, memang aku tak jauh dari kompetisi, tapi aku memang jarang berkompetisi selain dalam kompetisi memenangkan peringkat teratas di kelas.

Satu persatu nama kami disebut, pemilihan secara acak. Cukup menyenangkan. Dan aku pun sekelompok dengan beberapa wajah yang baru kulihat. Hanya ada dua cewek di kelompokku, aku dan satu orang dari prodi lain. Tak aneh memang, mengingat kami kuliah di kampus yang bergenre teknik maka kebanyakan mahasiswanya cowok, sedangkan cewek hanya beberapa orang saja. Seperti hari ini, di ruangan ini, dari sekitar 84 orang, hanya ada 14 orang cewek. Setidaknya bagi para cowok kami akan menjadi penyejuk di tengah gersangnya gurun.

Satu persatu memperkenalkan diri sambil menunjukkan makalah yang mereka buat sebagai tugas pertama sebelum masuk ke kampus. Satu nama masuk dipikiranku, nama selanjutnya, berikutnya, semakin banyak, semakin lama nama yang pertama kudengarpun kembali melayang. Memang susah mengingat beberapa nama dalam sekali waktu.

Ketika perkenalan berlangsung, tiba-tiba bapak pembimbing kami datang diikuti seorang cowok dibelakangnya. “Satu anggota baru untuk kalian”, kata bapak itu. Dia pun duduk bergabung dengan kami. ALAMAK.. Ini dia cowok yang pertama kali aku lihat, cowok bertopi hitam dengan buku yang selalu ditatapnya. Namun, kali ini dia tak memakai topi dan tak pula membawa buku seperti pertama kali aku melihatnya. Dia pun memperkenalkan diri, pada saat itulah aku tahu namanya, Ramdani  Pradana Putra. “gue biasa dipanggil Dana”, ucapnya singkat mengakhiri perkenalannya.

“Oh Dana…”, nama yang bagus.

Yapp, perkenalan selesai, kami harus mulai membahas strategi-strategi kami untuk menghadapi kelompok lain. Namun, suasana seketika hening, hanya bisik-bisik dari dua orang yang saling duduk berdampingan.

“ Jadi, gimana nih kelompok kita? Jangan pada bisik-bisik dong, diskusi bareng aja biar enak.”, suaranya memecah keheningan di kelompok kami. Kami semua melihat ke arahnya, dia tersenyum. Mungkin merasa aneh.

“ Lhah pada ngliatin gue? Sorry ya, bukannya gue sok. Hehe, ni makalah gue, liat aja.”

Ketika semuanya masih diam, dia kembali membuka percakapan. Mulailah kami saling tukar menukar makalah, satu yang lain saling melangkapi. Giliran makalahnya sampai di tanganku, buseet, 20 halaman, makalah yang benar-benar lengkap.

“Bukannya maksimal makalahnya 10 halaman ya?”, tanyaku polos.

“Gak papa, yang penting ma lengkap, daripada 10 tapi ga lengkap”, jawabnya datar.

Gubraak,,, aku banget. Aku terlalu mementingkan peraturan, terkadang susah membedakan peraturan yang bisa dilanggar ataupun tidak. Setahuku, semua peraturan tak boleh dilanggar. Kelihatan oon banget aku, tapi tak apalah, suatu bentuk kepolosan, wajar. Batinku membesarkan hati.

Beberapa saat suasana yang mulanya dingin mulai mencair, semuanya mulai membuka percakapan, bahkan kami memperluas jangkauan pembahasan kami yang mulanya makalah diganti dengan perkenalan yang lebih mendalam. Namun tidak bagiku, hanya beberapa teman yang berbicara denganku, itupun singkat. Ada beberapa sebab yang mungkin mendasarinya:

  1. Aku terlalu pendiam, mungkin jawabanku terlalu singkat. Maklum saja, aku masih berlogat bahasa daerah yang kental, sekental susu manis kalengan.
  2. Ada penghuni lain disampingku, seorang cewek cantik yang murah senyum dan ramah. Dia mungkin lebih asyik diajak ngobrol, saking ramahnya bahkan dia selalu mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman manis, yang mungkin bisa menyihir siapapun yang melihatnya.

Dua alasan kuat yang berhasil aku cetuskan.

Beberapa kali mereka bertanya pada Echa, dan Echa dengan tangan terbuka selalu menjawab semua pertanyaan itu. Terus berlanjut hingga bapak pembimbing kami  menyuruh kami menyudahi diskusi kelompok. Agenda hari ini selesai, kegiatan akan dilanjutkan pada esok hari dengan agenda plan tour masih dengan kelompok yang sama.

Seperti hari sebelumnya, ketika matahari masih enggan menggantikan sang bulan, kami sudah berada di ruangan yang sama. Menanti diberangkatkan menuju beberapa anak perusahaan dari perusahaan besar yang menaungi kampusku tercinta. Dua bus besar parkir tepat di depan pintu gerbang kampus, masing-masing kelompok naik sesuai nomor bus yang telah ditentukan menuju tempat yang masih dirahasiakan.

Aku duduk di deretan agak belakang, bersama temanku. Sedangkan anggota kelompokku yang lain entah dimana mereka duduk, yang aku tahu dengan pasti saat ini mereka masih berada satu bus denganku.

Bus berhenti, tepat di sebuah pabrik sepeda motor yang sudah tak asing lagi di telingaku. Serentak kami turun dan berjalan menuju ruang utama, seorang bapak telah menyambut kami, mempersilahkan kami duduk. Di sebuah ruangan dengan desain interior yang rapi, lengkap dengan sebuah LCD  besar di depan. Kami duduk di kursi yang disediakan, melihat ke depan proyektor, memperhatikan bapak-bapak itu mempresentasikan pengenalan perusahaannya pada kami. Saat itu juga aku merasa kami semua satu atap, mungkin karena kami berada di bawah naungan perusahaan yang sama, maka kami merasa satu.

Sesekali bapak itu menunjukkan kehebatan perusahaannya dibandingkan saingannya yang juga memproduksi sepeda motor. Dan kami memberikan applause ketika melihat beberapa kehebatan produk dari saudara kami ini.

Perjalanan selanjutnya, berkeliling pabrik. Panas, capek, haus, lengkap sudah penderitaan kami. Namun panas itupun sedikit berkurang dengan topi yang telah dibagikan kepada kami, sebuah souvenir manis dari saudara jauh. Pengalaman baru bagiku di dunia baruku.

Seharian kami mengelilingi tiga perusahaan sekaligus. Plan tour yang menyenangkan, ditambah dengan beberapa souvenir yang berhasil kami kumpulkan. Jika ditanya apa yang kami dapatkan pada plan tour kali ini? Mungkin jawabanku singkat, souvenir.

Advertisement

7 thoughts on “Tempat Hatiku Berlabuh ~ Part 1

  1. I feel that is among the most significant information for me.
    And i’m glad reading your article. However wanna observation on few
    normal things, The site taste is perfect, the articles is truly great :
    D. Excellent task, cheers

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: