“Kau akan lebih memilih seorang laki-laki yang telah menolongmu dari laki-laki lain yang mencampakkanmu ataukah laki-laki yang dulu kau cintai namun dia meninggalkanmu dan sekarang dia kembali di hidupmu ?” Setidaknya pikirkan apa yang aku katakan kepadamu sebelum kau memutuskannya. Sungguh, aku tidak ingin kau menyesal anakku. Orang tua ini hanya ingin yang terbaik untukmu.
Aku semakin mengenggam erat surat dari kang Riyanto. Aku masih sesenggukkan, sesekali air mataku menetes mengenai surat itu. Aku sungguh tak menyangka hal ini akan terjadi. Sudah dua bulan yang lalu aku memutuskan untuk tak lagi mendatangi rumah kepala desa. Aku tak lagi menanyakan jikalau ada surat untukku. Desaku memang terpencil begitupun rumah-rumah di desaku. Oleh karena itu setiap kali ada surat pasti pak Pos akan menitipkannya ke rumah kepala desa. Sudah menjadi rutinitasku sejak satu tahun lalu selalu mendatangi rumah kepala desa. Namun sekarang aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Berat memang untuk berhenti melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaan. Selain itu, dengan tak lagi menanyakan surat berarti aku sudah harus mengubur harapan itu dalam-dalam. Seminggu lagi, ya tepat seminggu lagi aku akan dipinang oleh seseorang. Sesorang yang akan menghapuskan kekhawatiran ibuku akan status “perawan tua” yang membayangiku.
Aku sudah ikhlas dan siap memenuhi permintaan ibuku untuk menerimanya. Namanya kang Arif, seorang laki-laki sederhana dan penyayang. Sebenarnya aku sudah lama mengenalnya. Dulu, kami sering bermain bersama ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun semenjak dia memutuskan sekolah di luar desa, sejak itulah kami jarang bertemu. Kami bertemu lagi ketika dia sudah menyelesaikan sekolah keguruannya dan menjadi guru di desa kami. Kang Arif memang baik budi, aku selalu mengaguminya. Dia pintar dan penyayang. Tak ada wanita yang tak mau menerimanya, begitu juga aku jika saja kang Riyanto tidak pernah datang ke hidupku.
Malam itu, kang Arif mendatangi rumahku. Dia bertemu dengan bapak dan ibu. Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Aku yang sejak tadi sedang duduk di dipan ruang tamu dengan cepat berdiri menuju dapur. Aku kembali ke ruang tamu dengan membawa tiga gelas teh anget dan meletakkannya di meja tamu. Setelah mempersilahkan teh kepada kang Arif aku kemudian masuk ke dalam. Kamarku dengan ruang tamu yang hanya dibatasi kayu, membuatku bisa mendengarkan dengan jelas pembicaraan yang terjadi malam itu. Aku juga bisa mendengar suara haru yang beberapa saat kemudian berganti menjadi suara tawa yang sudah lama tidak aku dengarkan dari ibuku. Begitupula bapak. Malam itu, untuk pertama kalinya orang tuaku mengajukan permintaan kepadaku, dan aku tidak bisa menolaknya walaupun aku ingin menolaknya. Aku harus memenuhi permintaan mereka, sebagai tanda baktiku. Aku akan menerima kang Arif.
Jika saja cinta sederhana sesederhana huruf penyusunnya, maka tak akan ada hati yang tanpa cinta dan tak ada hati yang selalu menanti cinta yang belum tentu didapatkannya dan juga tak ada hati yang harus menerima cinta yang tak diinginkannya.
Setelah aku menuruti keinginan orang tuaku untuk menerima dengan kang Arif, tentunya mereka sangat bahagia. Walaupun aku dan kang Arif belum resmi menikah, namun Ibu dan bapak sudah menganggap kang Arif seperti anaknya. Kang Arif pun memperlakukan mereka seperti orang tuanya sendiri. Seperti ketika kang Arif pulang dari kecamatan setelah mengikuti kegiatan rutin guru yang dilakukan untuk saling bertukar ilmu, kang Arif biasa menyebutnya KKG. Setiap Sabtu, kang Arif tak pernah absen pergi ke kecamatan untuk mengikuti KKG. Walaupun harus beberapa kali naik turun angkot, tidak akan jadi masalah bagi kang Arif. Setiap KKG, kang Arif tidak akan pulang dengan tangan kosong. Dia selalu membawa satu dua buku baru yang akan menambah koleksi perpustakaan Sekolah Dasar di desa kami. Selain buku, kang Arif juga akan membawa dua bungkus martabak telor yang akan diberikan kepada bapak, ibuku dan juga bapak ibu kang Arif. Dibandingkan dengan bapak ibu, aku paling jarang mendapatkan oleh-oleh dari kang Arif. Bukan karena dia tak membawakanku. Dia bahkan sering menanyakan apa yang aku inginkan. Hanya saja aku tidak mau meminta apapun. Dia terlalu baik untukku yang sampai sekarang masih belum bisa memberikan hatiku sepenuhnya kepadanya.
Kang Arif tidak mempermasalahkan apakah saat ini aku mencintainya atau tidak. “Suatu saat kamu pasti akan mencintaiku Nah, dan aku akan menantikan saat-saat itu”, begitu yang dia katakan kepadaku. Dia mengatakan itu dengan tanpa beban sambil menghabiskan es potong yang ada di tangannya. Ya, saat aku menanyakan pertanyaan itu, kami sedang berada di bangku taman di kecamatan. Hari ini hari Sabtu, kang Arif mengajakku untuk jalan-jalan ke kecamatan. Dia mengajakku melihat Kantor Dinas Pendidikan tempat dia biasa datang KKG. Kang Arif juga mengajakku ke toko buku kecil di pinggir jalan. Terakhir sebelum pulang, aku dan kang Arif pergi ke taman untuk beristirahat sambil makan es potong, saat itulah aku mulai memandang kang Arif dengan tatapan yang berbeda.
Tidak adil rasanya jika hanya kang Arif yang sering datang ke rumahku. Walaupun kedekatanku dengan kang Arif sudah disetujui oleh kedua orang tua kami, dan sesekali aku juga pernah mengobrol dengan ibu kang Arif ketika bertemu di pasar namun aku sama sekali belum pernah ke rumahnya. Maka aku pun memutuskan untuk berkunjung ke rumah kang Arif atas saran ibuku. Betapa senangnya kang Arif mendengar kabar itu. Dalam kunjungan itu, orang tua kang Arif menerimaku dengan baik. Sepertinya kang Arif berhasil meyakinkan mereka bahwa kang Arif tidak salah memilihku sebagai calon pendampingnya.
Setelah kunjunganku ke rumah kang Arif, kedua keluarga kami sepakat untuk segera meresmikan hubungan kami. Mereka sudah mulai menghitung-hitung tanggal baik yang sesuai denganku dan kang Arif. Akhirnya dipilihlah tanggal 26 Juni, tepat satu bulan lagi. Sekali lagi demi bapak ibuku, aku pun menerima pinangan dari kang Arif.
Cinta tetap saja cinta, tidak bisa dipaksakan. Dan cinta tetap saja cinta, cinta bisa membuat kita menerima dan melakukan apapun demi orang yang kita cintai.
Catatan :
kalimat pertama paragraf pertama diambil dari kalimat bang Tere Liye 🙂
*kunjungan balik nih say*
bagus ceritanya, tapi apa kabar Kang Riyanto ya?
kalau aku jadi ‘aku’… milih Kang Arif ato Kang Riyanto yahh..
bingung >.<
Iyaah, selamat datang 🙂
Lagi dalam proses ini, masih bingung juga alurnya mau gimana.. Hehe 😀
Makasih yah say 🙂
“Kau akan lebih memilih seorang laki-laki yang telah menolongmu dari laki-laki lain yang mencampakkanmu ataukah laki-laki yang dulu kau cintai namun dia meninggalkanmu dan sekarang dia kembali di hidupmu ?”
perasaan pernah denger kata-kata itu deh..
itu kata2nya Tere Liye 😛
uhuk uhuk, sederhana tapi touchy ntan ;w;
Iyaah, nyoba bikin fiksi aku dinn 😀
kalau aku… menanyakan, kenapa dia dulu meninggalkanku. dan aku.. harus berdamai dengan rasa sakit itu
😀
iya, berdamai dengan rasa sakit itu yg harus dilakukan walaupun susah yah 🙂
yup 😀
bukan melupakan,tapi berdamai 😀