Berpindah

Gadis kecil itu aku. Dulu aku sangat membenci perpisahan, namun sekarang justru aku yang menjadi pelaku utama dalam kisah perpisahan ini. Bukan, bukan perpisahan, aku lebih suka menyebutnya perpindahan tempat. Selain selalu mengingat pesan ibuku, aku selalu mengingat pesan yang berkata bahwa dimanapun kita berada, kita pasti mendapatkan keluarga baru. Itulah pegangan dalam menjalani hidupku saat ini. Hidup bersama dengan hal yang sejak lama aku benci. Semoga Tuhan menguatkanku. Semoga.

Aku tidak menyukai perpisahan, bagiku perpisahan merupakan hal kejam yang tega merenggut kebahagiaan seseorang. Aku tidak menyukai perpisahan, kenapa setiap orang dipertemukan jika kelak akan dipisahkan? Dan sekali lagi aku tidak menyukai perpisahan. Dia telah merenggut sebagian kebahagiaan ibuku. Karena itu semua, aku membencinya.

Itu permikiranku sejak kecil, akibat ketidaksukaanku pada perpisahan. Pernah aku bertanya pada ibuku, “Bu, kenapa sih bapak pergi dan gak balik-balik lagi?” Ibuku hanya diam mendengarkan. Mungkin masih memikirkan rangkaian kata yang tepat sebagai penjelasan untuk gadis kecilnya ini. Aku pun bertanya lagi “Bu, kalo ibu juga pergi terus aku sama siapa?” Pertanyaan keduaku, membuat ibuku kembali diam. Sibuk merangkai kata yang pas untuk menjelaskan.  Dan ketika ibuku diam, aku pun ikut diam, membayangkan apapun yang saat itu datang di pikiranku. Imajinasi memang lebih banyak datang di usia yang masih muda.

“Kamu gak akan sendiri, kemanapun kamu pergi akan ada orang-orang yang menyayangimu. Sedangkan orang-orang yang pergi itu tidak menginggalkanmu, mereka hanya berpindah.”, kata ibuku yang diiringi pelukan hangat darinya.

Masih banyak hal yang mengganjal di hatiku. Namun jawaban singkat ibuku membuatku tenang. Aku memang sering bertanya tentang perpisahan. Ketika ada tetanggaku yang mendadak memutuskan untuk merantau ke tempat lain, atau tetanggaku yang telah berkesempatan bertemu dengan Pemilik Hidupnya. Rasanya ada yang beda ketika tak lagi melihat orang yang biasanya sering muncul didepan kita.

***

Zaman semakin berkembang, kehidupan desa yang hanya menyisakan pekerjaan sebagai petani, tukang batu, tukang kayu dan pekerjaan kecil lainnya membuat beberapa laki-laki di kampungku tertarik untuk pergi keluar desa, mencari kehidupan yang lebih menjanjikan. Satu per satu dari mereka pun  meninggalkan desa. Semakin lama, semakin banyak yang megikuti jejak teman-temannya. Maka tak jarang pemandangan yang sama kerap menghiasi kampung kami. Hampir setiap bulan aku melihatnya, seorang wanita yang berdiri terdiam melepas kepergian suaminya. Bahkan yang lebih mengharukan, ketika wanita itu bersama seorang anak yang ikut melepas kepergian ayahnya. Aku sungguh tak tega, melihat anak sekecil itu sudah harus mengenal kata perpisahan. Aku dengan jelas melihat, bagaimana sang istri dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan senyum di bibirnya. Menutupi segala kesedihan yang dia rasakan. Mereka sungguh kuat, batinku. Taukah kalian bahwa  dalam senyum itu tersimpan berjuta perasaan yang tertahankan. Kesedihan dan hati yang tak karuan karena ditinggal orang yang terkasih. Namun, bagi mereka bukan saatnya untuk menangis. Menangis hanya akan menambah kesedihan dan kesedihan itu akan menjadikan beban semakin berat. Sedang yang harus mereka lakukan adalah tersenyum. Senyum penuh harapan dan keikhlasan untuk melepas orang yang mereka sayangi. Senyum yang berarti janji akan menjaga diri dan buah hati mereka dengan baik. Senyum yang berati kesetiaan menanti suaminya kembali dengan membawa kehidupan yang lebih baik untuknya dan untuk buah hati mereka. Begitulah yang Ustadzah katakan dalam acara pengajian rutin di kampungku. Karena semakin banyaknya laki-laki yang merantau, berarti banyak pula ibu-ibu yang bernasib sama. Mereka inilah yang saling mendukung satu sama lain, mengajarkan arti keikhlasan. Termasuk apa yang harus mereka lakukan ketika melepas kepergian suaminya. Salah satunya adalah senyum. Itu pelajaran yang selalu mereka ingat.

Wanita memang wanita. Makhluk dengan karunia  hati yang lembut dan perasa. Walaupun sekuat hati menahan tangis dengan menunjukkan senyum, mereka tak bisa selamanya menutupi kesedihannya. Saat kaki suaminya mulai melangkah. Saat itu, ketika mata tak lagi melihat suaminya. Saat itulah kesedihannya pecah. Air mata itu mengalir deras membasahi wajah mereka. Sambil memeluk anaknya, semakin deras air mata itu mengalir. Membuat anaknya ikut menangis. Luapan kesedihan itu membuat suasanan semakin haru. Aku sungguh tak suka melihat pemandangan seperti ini. Namun, aku masih saja berdiri mematung melihat semuanya. Tak lama kemudian, ibu-ibu tetangga datang mendekatinya. Kembali mengingatkan tentang keikhlasan dan harapan. Namun kali ini mereka tak menyuruhnya menahan air mata itu. Mereka membiarkan air mata itu mengalir dengan bebas. Satu kalimat yang aku dengar jelas terucap dari mereka “Bolehlah kali ini kau menangis, itu wajar memang. Semuanya pun begitu. Namun tidak untuk besok. Mulai besok hiduplah dengan bahagia. Hiduplah dengan keikhlasan dan harapan. Doakan suamimu. Hiduplah dengan baik bersama anakmu sampai dia kembali.”  Kalimat itulah yang menjadi pengingat mereka. Bahwa hidup harus berlanjut. Mereka tidak ditinggalkan. Suami mereka tidak pergi. Suami mereka hanya berpindah tempat berjuang demi kehidupan keluarga yang lebih baik.

Sang istri itu mulai tenang, ibu-ibu tetangga satu per satu mulai meninggalkannya. Membiarkannya sendiri untuk menata hatinya. Masih banyak hal yang harus dia lakukan setelah ini. Kejadian hari ini hanya sepotong dari perjalanan hidupnya yang panjang. Hanya butuh beberapa saat, maka kejadian hari ini pun selesai. Waktu akan menghapuskan semuanya dan membuat semuanya kembali normal.

Sudah tidak ada yang menarik perhatianku. Maka  aku pun mulai beranjak dari tempatku berdiri. Ibu yang sejak tadi memanggilku terlihat capek karena dari tadi aku tidak segera pulang. “Iya bu, aku datang”, jawabku kencang. Sambil tersenyum aku berlari ke tempat ibuku berada. Melihatku datang,  raut muka ibu yang tadinya cemberut mendadak berubah. Seperti seorang polisi yang siap mengeksekusi tahanan yang sejak tadi bungkam tak memberi jawaban atas pertanyaannya.

Ibu menyuruhku mengantarkan pesanan baju ke rumah pelanggan. Hal yang sudah biasa aku lakukan sejak usiaku masih kecil. Bahkan saking seringnya mengantarkan baju, beberapa dari pelanggan tetap ibu sudah mengenalku dengan baik. Mereka sudah seperti saudara bagiku dan ibu. Inilah pekerjaan ibu sehari-hari. Sebagai seorang penjahit yang handal. Begitu yang selalu aku katakan pada ibu. Ibu memang tak pernah mengikuti les jahit-menjahit, ibu mempelajarinya secara otodidak. Bahkan secara otodidak pun ibu bisa menghasilkan baju yang begitu mempesona, bagaimana jika ibu mengikuti les. Pasti lebih bagus. Aku selalu memuji ibuku dengan kalimat itu. Ibuku hanya tersenyum. Menurutnya, bagus tidaknya bukan karena les. Namun keharusan kita melakukan sesuatu harus dengan hati. Ibu menganggap menjahit bukan sebagai pekerjaan. Ibu selalu bilang menjahit adalah hobinya. Ketika menjahit dia merasakan kesenangan, dari situlah dia mencintai hobi yang saat ini juga pekerjaannya.

Aku mengeluarkan sepedaku. Meletakkan beberapa tumpuk pakaian ke dalam keranjang depan sepeda. “Aku berangkat Bu, assalamualaikum”, kataku sebelum mengayuh pedal sepedaku. “Walaikumsalam, hati-hati di jalan.” , kata ibu sambil melepas kepergianku. Sama seperti ibu yang begitu menyukai menjahit, aku pun menyukai pekerjaan mengantar pesanan baju ini. Selain karena bisa membantu ibu, aku juga bisa berkeliling desa dengan sepedaku. Menikmati sore yang indah. Menyapa tetangga-tetangga yang sedang asyik dengan kesibukan masing-masing.

Advertisement

3 thoughts on “Berpindah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: