Cerita Rumah – 1

Sedari pertama merencanakan pernikahan, banyak hal yang harus kita pikirkan. Salah satunya adalah tempat tinggal. Sering kali kami mengobrol dan akhirnya bersepakat untuk tidak mengambil rumah dengan sistem kredit seperti kebanyakan orang lakukan. “Lebih baik kita mengontrak”, kataku dengan tegas kepada suami. Diapun sependapat. “Riba”, mungkin kebanyakan orang akan berpikiran seperti itu ketika melihat keputusan kami untuk tidak kredit rumah. Namun sepertinya saya belum terlalu cukup ilmu untuk membahas tentang hukum riba. Bukan menyangkal, memang itu salah satu alasan kami kenapa memutuskan untuk tidak kredit rumah.  Namun alasan lain adalah, ketidak-biasa-an kami berdua dalam hal hutang. Apalagi jika kredit rumah hutangnya tidak hanya satu dua tahun melainkan belasan atau bahkan bisa sampai 25 tahun.  Aku tipe orang yang tidak tenang kalau ada hutang, aku selalu mencatat hutang-hutangku ke orang lain dan membayarnya walaupun telat dan kadang orang yang aku hutangi sudah terlanjur lupa. (jangan dicontoh ya teman-teman)

Nah juga, orang tuaku dan orang tua suamiku juga tidak setuju jika kita mengambil kredit rumah. Itu membuatku dan suami semakin yakin untuk hidup mengontrak setelah menikah. Kami saat itu yakin semua akan ada jalannya.

“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik. (HR Ahmad).”

Beberapa bulan sebelum menikah, kami mendapatkan info bahwa ada rumah yang akan dijual. Lokasinya dekat sekali dengan rumah mertua saya. Karena si penjual sedang butuh uang, maka rumah itu dijual dengan harga yang sedikit turun dibandingkan harga standar nya. Kami pun memutuskan untuk membeli rumah itu, tentu saja dengan bantuan mertua saya, karena saya dan suami tidak ada uang sebanyak itu. Haha.  Fix, rumah itu menjadi rumah yang nantinya akan kami tempati setelah menikah.

Rumah kami merupakan bangunan lama, beberapa temboknya sudah rusak. Sebelum ditempati, kami melakukan renovasi kecil-kecilan, hanya melapisi tembok yang rusak dan mengecat ulang dindingnya. Satu hal yang tidak bisa kami perbaiki saat itu adalah lantai rumah kami yang lebih rendah dari jalan. Tak apa, kami tetap bersyukur sudah punya rumah sendiri.

Awalnya kami merasa baik-baik saja dengan kondisi rumah seperti itu. Sampai semuanya berubah saat kami mulai menempati rumah itu (setelah menikah). Setiap hari berada di rumah, kami semakin mengerti apa saja yang kurang dari rumah ini. Pertama, rumah ini tidak mempunyai saluran air PAM. Jadi masih menggunakan air tanah. Kami sepakat untuk memakai air tanah hanya untuk mandi, sedangkan untuk masak kami menggunakan air isi ulang. Tidak masalah sampai pada akhirnya air tanah semakin mengganggu, kondisi airnya yang rada bau membuat aku dan suami sangat tidak nyaman. Beberapa kali kami bertengkar hanya karena air. Masalah ini semakin lama semakin ribet karena ketika kami memutuskan memasang air PAM, dan tidak juga berjalan dengan baik. Kami pasrah, berdoa semoga Allah memberikan jalan. Dan benar akhirnya Allah memberikan jalannya. Silahkan cek postingan ini, Kemudahan – Water Filter.

Masalah kedua, yang menguras kesabaran ekstra adalah ketika musim hujan tiba. Lokasi rumah yang lebih rendah dari jalan membuat rumah kami sering kebanjiran. Duh, itu sangat menjadi masalah besar bagiku dan suami. Awalnya kami sangat stress menghadapi kondisi rumah seperti ini. Terutama saya, tiap hujan entah pagi, siang, ataupun malam, aku selalu tidak tenang. Apalagi saat rumah benar-benar kebanjiran dan kami harus mengepel. Pulang kerja rumah banjir, kami pel. Paginya kami berangkat kerja. Pulang kerja rumah banjir lagi. Begitu berulang saat musim hujan tiba. Sangat membuat bete. Tak jarang aku marah, kecewa, menangis menyalahkan keadaan. Apalagi saat melihat teman kantor yang tidak perlu mengalami hal ini dan mereka dengan mudahnya mempunyai rumah. Lalu sempat terpikir olehku untuk beli rumah. Ya, kami mempunyai tabungan untuk DP rumah. Bisa juga pinjam Bank atau Koperasi kantor. Sisanya kami bisa menyicil per bulan seperti kebanyakan orang. Hidup nyaman tanpa banjir.

Astagfirulloh.

Aku tersadar, ingat komitmen pertama kami untuk tidak mendekati hutang Bank dan segala bentuk cicil mencicil. Dan konsekuensinya kami harus bertahan di kondisi rumah seperti ini sambil menabung untuk melakukan renovasi besar-besaran pada rumah kami.

Semakin lama kami merasa biasa saja dengan kondisi banjir. Bahkan aku pikir itu akan menjadi kenangan indah masa-masa susah sama suami. Seperti yang ada di postingan Dalam Hujan.

Advertisement

One thought on “Cerita Rumah – 1

  1. Mending duit DPnya buat benerin rumah aja terutama pondasi atau lantainya dinaikin… sukses buat rumahnya ma, aku pun masih pengen punya rumah sendiri tapi gimana belom ada yang bisa mbantu, mau KPR kok ya gimana gitu

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: