Jarak – Mungkinkah Dia.

Disadari atau tidak, dirasakan atau tidak, sejatinya dalam kehidupan ini selalu ada pembatas, pembatas yang terkadang mendekatkan atau sebaliknya menjauhkan. Pembatas itu, aku menyebutnya “jarak”. Kali ini aku akan bercerita tentang jarak yang mengiringi kisahku dengannya. Tentang jarak yang semula mendekatkan kami berdua, dan yang perlahan menjauhkan.

Aku mengenalnya bukan kebetulan, aku mengenalnya karena orang tua kami sudah saling kenal jauh sebelum kami lahir. Orang tua kami mulai berteman sejak sama-sama diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Perusahaan tempat ayah bekerja merupakan perusahaan besar di Jakarta, mempunyai beberapa anak perusahaan yang juga semakin berkembang. Beberapa tahun setelah ayah bekerja, ayah dipindahkan ke sebuah anak perusahaan manufaktur mobil untuk menempati posisi baru. Begitupun teman ayah, dipindahkan di anak perusahaan yang bergerak di manufaktur sepeda motor. Mereka sama-sama memulai kembali karirnya, bedanya mereka tidak ditempat yang sama. Namun, ayah dan temannya masih sering bertemu sesekali jika ada meeting di Head Office dimana semua perwakilan dari anak perusahaan berkumpul di meeting itu.

***

Namaku Hana, saat ini aku baru lulus SMA. Aku diterima di Universitas Indonesia, jurusan Teknologi Komputer. Hari ini adalah hari pertama aku datang ke kampus. Perkuliahan memang masih dimulai satu minggu lagi, namun kali ini aku datang ke kampus untuk memindahkan barang-barang ke tempat kost. Walaupun jarak Jakarta – Depok tidak terlalu jauh, tapi aku memilih untuk menempati kostan dari pada pulang pergi Jakarta – Depok. Ibu pun menyuruhku mengekost, kata ibu aku harus latihan hidup mandiri.

Setelah selesai memindahkan barang-barang ke kotsan, aku, ibu, dan ayah berkeliling kampus. Kami berjalan-jalan melihat kampus, ke perpustakaan, gedung falkultasku, dan akhirnya kami berhenti di taman sambil duduk-duduk melepaskan lelah. Tak disangka, tiba-tiba ayah berdiri dan menyapa seseorang. Sepertinya teman ayah. Teman ayah  datang bersama seorang anak laki-laki seusiaku. Dan tanpa kusadari pertemuan kali itu akan mengawali kisahku untuk beberapa tahun ke depan.

Perkenalan yang singkat, hanya sebatas nama. “Athar”, dia mengatakan namanya sambil menjabat tanganku.  “Hana”, begitu pula aku mengatakan namaku kepadanya.

Setelah perkenalan itu, aku sudah tidak pernah bertemu Athar. Kami sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Karena fakultas kami berdekatan, mungkin sesekali kami berpapasan, namun aku tidak “ngeh” dengan wajahnya, jadilah kami tak saling tegur sapa. Oh iya, kami sama-sama di fakultas teknik, bedanya Athar di Teknik Elektro, sedangkan aku di Teknik Komputer.

Hari pertama kuliah pun tiba. Aku sudah resmi menjadi mahasiswa di kampus baruku. Bagiku, kampus baru adalah cerita baru. Aku senang menceritakan semua kegiatanku kepada orang tuaku, terutama tentang kehidupan di kampusku ini. Ketika aku bercerita, beberapa kali ayah dan ibu menanyakan tentang Athar. Dan aku selalu menjawab belum pernah lagi bertemu Athar. Aku pikir saat ini tidak terlalu penting untuk mencari tahu siapa Athar, toh Athar pun sampai sekarang tidak mencari tahu tentangku. Namun begitulah ibu dan ayah, selalu menanyakan karena mereka senang jika aku dan Athar pun bisa berteman seperti mereka dan orang tua Athar.

Beberapa bulan kuliah, aku sudah disibukkan dengan banyak tugas kampus. Banyak yang harus aku perlajari. Aku merasa tertinggal dibandingkan teman sekelasku, oleh karenanya di sela-sela waktu kuliah, aku sering menyempatkan diri ke perpustakaan kampus. Aku berusaha belajar lebih dalam mengenai mata kuliah dasar Teknik Komputer.

Aku sedang duduk di perpustakaan, saat tiba-tiba ada keributan di pojokan. Seorang penjaga perpustakaan terlihat mendatangi seorang mahasiswa yang tengah tidur di meja. Sempat ramai karena si mahasiswa itu terlihat melawan si penjaga perpustakaan yang menegurnya karena telah melanggar aturan larangan tidur di perpustakaan. Lalu si penjaga perpus pun menanyakan nama mahasiswa tsb.

“Aiman Rizhan Atharizz, anak Teknik Elektro”, begitu dia menyebutkan namanya. Aku merasa tidak asing dengan nama itu juga dengan wajahnya. Aku mencoba mengingat, mungkinkah dia Athar, anaknya teman ayah yang sempat bertemu denganku dulu? Aku tak begitu yakin. Aku melanjutkan membaca-baca buku tentang Pemrograman.

“Han, udahan yuk belajarnya kita ke kantin. Pengen jajan”, kata Aida.
“Hmm, yuk lah”, kataku menimpalinya.

Aku membereskan buku perpustakaan, mengembalikannya ke rak buku, dan merapikan laptopku. Kemudian berjalan bersama Aida menuju kantin. Aku masih memikirkan apakah anak yang tadi di perpus benar-benar Athar atau tidak?

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: