Siapa sangka pertemuan pertama kami di KRL, menjadi pembuka pertemuan-pertemuan selanjutnya. Beberapa kali aku bertemu dengan Athar ketika menunggu kereta menuju ke rumah, walaupun tak selalu kami satu kereta. Terkadang aku berlarian mengejar kereta yang dia naiki, atau sebaliknya dia datang saat kereta yang aku naiki berangkat. Menyebalkan memang jika aku terlambat beberapa menit saja dan ketinggalan kereta. Bukan karena tak bisa pulang bersama Athar tapi lebih karena harus menunggu kereta selanjutnya yang waktunya lumayan lama.
Seperti hari ini, aku bersama dengan temanku Aida berjalan menuju stasiun kampus. Aku sudah telat beberapa menit dari jadwal kereta yang biasanya.
“Han, ada Athar gak?”, tanya Aida sesampainya kami di stasiun. Aku memang sudah menceritakan semua kepada Aida tentang Athar. Selain teman sekelas, dia juga teman satu kost-an. Kemanapun aku pergi selalu ada dia. Dan dia sudah mulai terbiasa mendengarkan ocehanku setiap harinya, termasuk ocehan terbaruku tentang Athar. Aida pendengar yang baik, cocok denganku si pendongeng yang baik juga.
“Gak tau. Mungkin dia udah naik kereta sebelumnya.”, jawabku.
“Yah, kalau aja ada Athar kan kamu gak sendirian pulangnya.”, kata Aida. Dia berlagak khawatir karena aku harus menyusuri perjalanan panjang per-kereta-an sendirian.
“Udah biasa gue sendiri mah. Tenang aja.”, jawabku meyakinkan.
Aku dan Aida sampai di stasiun. Kami sedikit antri membeli tiket KRL. Ku arahkan pandangan ke sekeliling. Tanpa kusadari aku seperti sedang mencari seseorang. Tapi aku tak menemukannya. Mungkin dia sudah naik KRL sebelumnya, pikirku. Tapi kan biasanya KRL di jam sebelumnya penuh banget,mungkin dia tidak naik KRL sebelumnya, pikirku lagi. Atau mungkin dia tidak naik KRL kali ini? Entahlah. Aku terus saja berpikir menerka-nerka alasan kenapa tidak menemukan dia disini.
“Han..Han, keretaku udah datang. Aku duluan ya?”, pamit Aida.
“Oke. Ati-ati yaaaa.”, jawabku.
Kereta jurusan Bogor berhenti, Aida dan beberapa teman sudah masuk ke dalam kereta. Tak berapa lama keretapun berangkat, membawa Aida dengan tangan bye-bye nya dan meninggalkan aku sendiri di stasiun menunggu kereta.
Aku duduk di pojokan, kali ini aku tidak sedang membaca novel, melainkan sibuk melihat-lihat Instagram. Buka satu account olshop lalu merembet kemana-mana. Aku menyadari ternyata aku mempunyai kemampuan “kepo” yang teramat tinggi. Tak kusangka aku ternyata juga suka mengulik sesuatu dengan detail, dan ini sangat penting untuk menjadi bekalku belajar di dunia IT. Ketrampilan “kepo” dan “ngulik” tingkat tinggi ini berguna saat aku harus mencari-cari cara memecahkan masalah dalam kode-kode pemrograman dan berhasil. Akhirnya aku merasa sedikit mempunyai bakat di dunia IT.
“Eh, lagi nunggu kereta juga?”, seseorang datang dan bertanya kepadaku.
Aku menoleh ke arah datangnya suara, “Athar. Baru pulang juga ya? Aku kira udah naik kereta sebelumnya.”
“Iya tadi sengaja rada siangan dari kostan biar gak rame. Oh iya kemarin lupa namanya siapa?”, tanya nya.
“Oh, Hana. Panggil Hana aja. Aku jurusan Teknik Komputer.”, jawabku.
Lalu kami berdua naik di kereta yang sama. Tidak seperti pertemuan pertama kali di KRL. Kali ini lumayan ada bahan yang aku bicarakan dengan dia. Mulai dari kampus, dunia per-kereta-an sampai akhirnya aku tahu bahwa salah satu teman kost-ku, Sari namanya ternyata satu kelas dengan Athar.
Hanya sebatas itu aku dengan Athar. Terkadang kami tak sengaja bertemu di kereta, lalu bersama-sama pulang. Di perjalanan biasanya aku mengobrol seperlunya dengannya, itupun kalau kami sebelahan. Jika berbeda gerbong, aku hanya bisa melihatnya dari jauh, memastikan ada teman transit di stasiun Jakarta Kota karena aku suka kebablasan, karena sibuk mengkhayal memikirkan lanjutan cerpen yang sedang kutulis namun aku selalu galau untuk memilih lanjutan ceritanya. Jadi kalau ada Athar aku hanya perlu melihat dia turun, aku pun ikut turun.
Sedangkan di kampus, aku jarang bertemu dengannya. Tapi pernah. Sesekali aku juga mendengar tentang dia dari Sari. Tak banyak tapi. Lagi-lagi saat ini tidak ada yang spesial antara aku dan Athar. Semenjak kejadian di perpustakaan, aku hanya merasa perlu untuk kenal dia, entah apa yang membuatku merasa begitu. Aneh memang. Mungkin karena ibu dan ayah yang sering menanyakannya, jadi memicuku untuk mencari tahu. Dan tanpa kusangka ternyata beginilah cara perkenalan kami. Setidaknya saat ibu atau ayah bertanya tentang Athar, aku bisa menjawab “Ya aku mengenalnya dan kita sudah berteman.”