Selama satu tahun kuliah, baik aku, Aida, mapun Sari masih sama-sama menyandang status jomblo. Aku lebih memilih mempunyai banyak teman dibandingkan berpacaran. Aku hanya akan menjalin hubungan serius jika aku sudah siap berkomitmen. Oleh karena itu setiap kali Sari dan Aida membahas hubunganku dengan Athar, aku lebih suka menyebutnya sebagai hubungan persahabatan. Dengan hubungan ini aku ingin menepis ucapan kebanyakan orang bahwa tidak ada seorang perempuan yang bisa bersahabat dengan laki-laki tanpa ada salah satu yang menyimpan rasa suka. Aku pikir, ucapan itu tidak berlaku untukku dan Athar. Kami sama-sama nyaman dengan hubungan persahabatan ini.
Namun tak kusangka sampailah aku pada titik yang membuatku menyadari sesuatu. Ternyata selama kami justru terkurung dalam istilah yang kami ciptakan sendiri yaitu “Sahabat”. Istilah yang awalnya menyenangkan namun pada akhirnya juga bisa membuat kami merasa kehilangan. Istilah yang tidak mempunyai kekuatan dalam hubungan kami. Istilah yang juga digunakan sebagai alasan pihak lain untuk menciptakan istilah baru yaitu “Cinta”.
Sejak pertama aku bertemu Athar sampai sudah beberapa bulan kami bersama, aku tidak pernah sekalipun terpikir akan adanya “cinta” dalam persahabatan kami. Baik aku maunpun Athar tidak pernah mengungkapkan atau menyinggung tentang cinta. Bagiku, tak masalah entah itu cinta, sahabat, atau apapun istilahnya. Yang jelas aku dan Athar sama-sama merasa dekat, bisa saling cerita, itu yang terpenting. Dengan tanpa adanya hubungan pacaran, aku pikir akan lebih membuat hubungan kami terasa santai, tanpa ada cemburu dan curiga dengan orang lain. Aku bisa lebih fokus pada kuliah karena aku mempunyai keinginan untuk melanjutkan S2 di Jerman, setelah lulus S1. Aku juga masih bisa menjaga Athar yang masih belum sepenuhnya semangat kuliah, semenjak ada masalah yang beberapa bulan lalu sempat membuatnya bolos kuliah dan malas beraktivitas, aku mendapatkan tugas baru untuk selalu mengingatkannya agar masuk kuliah dan mengerjakan tugas. Jadi aku tak mau menambah masalah lain untuknya. Aku pikir mungkin ini jawban atas rasa penasaranku tentang Athar di awal masa kuliah. Yaitu untuk menjadi sahabatnya dan mendampinginya dalam situasi sulit. Walau begitu aku senang, serasa hidupku makin bahagia semenjak ada Athar. Dia pun menjadi sahabat yang baik untukku.
Tapi lupa satu hal, bahwa ternyata bukan cuma aku atau Athar yang menjadi pemeran di cerita ini. Ada orang lain, dan orang itulah yang akhirnya memunculkan istilah baru ditengah kehidupan kami dan dia yang akhirnya bisa mengungkapkan apa yang selama ini tidak bisa kami ungkapkan.
“Cinta”, susah memang untuk mengungkapkanya, namun ternyata sangat harus diungkapkan meski itu butuh keberanian dan konsekuensi yang besar. Sebagai seorang cewek, tentunya akan lebih susah dalam hal menyatakan cinta ke orang yang disukai. Beberapa temanku memilih untuk diam sambil memberikan kode-kode perasaannya kepada cowok yang dia sukai. Berharap orang itu mengerti pesan yang ingin disampaikannya melalui kode-kode tersebut. Beberapa temanku yang lain justru memilih untuk mencari orang yang bisa menjadi perantara antara dia dengan gebetannya, “mak comblang” begitu kebanyakan orang biasa menyebutkan. Atau yang lebih ekstrim lagi, ada yang memilih untuk menyatakannya langsung perasaannya kepada orang yang disukai, dengan segala konsekuensinya.
Dari beberapa pilihan diatas, jika harus memilih, aku memilih untuk menunggu. Aku lebih memilih sebagai orang yang dicintai daripada mencintai. Jadi aku menunggu sampai dia mengungkapkan perasaannya kepadaku, atau jika tidak, berarti memang dia hanya menganggapku teman biasa. Begitulah prinsipku.
Namun, tidak jauh dariku ada seseorang yang ternyata mempunyai prinsip yang berbeda dariku. Dia memilih untuk tidak mengungkapkan perasaannya lewat kode-kode, menunggu, atau mencari mak comblang. Kenapa? Mungkin itu membuatnya berada dalam situasi yang semuanya hanya sebatas asumsi. Berasumsi kalau cowok itu ternyata begini terhadapnya, begitu terhadapnya yang kesemuanya belum tentu benar.
Dia lebih memilih untuk menyatakannya secara langsung, dengan begitu dia akan mendapatkan jawaban yang jelas, antara “Ya” atau “Tidak”. Cinta itu harus diperjuangkan, katanya dan dia memilih untuk memperjuangkannya. Seorang pemberani, kataku.
***
“Savi jadian sama Athar”.
Begitulah kalimat yang aku dengar sore ini. Aku tidak terlalu jelas mendengarkan Sari bercerita bagaimana awalnya sampai akhirnya Savi dan Athar resmi jadian. Aku hanya menggaris bawahi bahwa Savi menyatakan perasaannya kepada Athar dan Athar pun menerima pernyataan cinta Savi.
Oh, entah bagaimana rasanya hatiku saat itu. Kaget. Bagaimana bisa Athar menerima cinta Savi? Apa dia tidak mengingatku saat akan memberi jawaban atas pernyataan cinta Savi?
Selesai mendengar cerita Sari, aku lalu masuk ke kamar. Aku ambil handphoneku dan langsung menelpon Athar. Beberapa kali aku telpon dan Athar tak juga menjawab telponku. Aku diam. Aku menangis. Bukankah selama ini aku cukup dengan menjadi “sahabat” Athar? Lantas kenapa aku menangis? Hatiku tak karuan saat itu. Aku benar-benar terjebak dalam istilah “sahabat” yang sebenernya mungkin bukan sebatas sahabat yang aku harapkan, yang mungkin selama ini aku mencoba selalu mengingkarinya. Aku belum siap berkomitmen namun tak mau kehilangan. Dan aku bersembunyi dibalik istilah sahabat. Sungguh egois. Lalu saat ini, saat aku tahu Athar sudah bersama Savi, aku justru benar merasa kehilangan.
“Han, kamu gak papa? Belum tentu yang dibilang Sari benar. Mungkin Athar engga jadian sama Savi. Udah coba telpon Athar?”, Aida datang ke kamarku.
“Udah. Engga diangkat. Mungkin lagi sama Savi dia. I’m okay kok, tenang aja”, jawabku yang berlagak sok kuat padahal masih tak karuan.
“Ya, aku tahu. Gak ada yang lebih oke dari kita.”, katanya sambil tersenyum ke arahku.
Aida menemaniku sore ini walaupun dari tadi aku lebih banyak diam daripada biasanya. Dia kemudian keluar kamar dan tak berapa lama kembali dengan membawa dua es krim Concerto. Suatu hal yang menjadi kebiasaan kami saat perasaan kami sedang kacau balau adalah menikmati es krim Concerto bersama di teras lantai 3 kost-an. Dia pun mengajakku ke teras lantai 3. Menikmati es krim dengan hembusan angin sepoi-sepoi dan bercerita terus terang kepada Aida tentang perasaanku saat ini, membuatku sedikit merasa lebih tenang.
“Han, kenapa nelpon? Aku lagi di luar sama temen.” Handphone ku bergetar, ada pesan masuk dari Athar.
“Sama Savi?”, jawabku singkat.
“Nanti aku telpon pas udah di kost-an. Atau aku ke kost-an kamu.”, jawabnya membalas pesanku.
Tepat pukul 7 malam, setelah sholat isya, Athar datang ke kost-anku. Dia mengajakku pergi ke tempat biasa kami jajan sambil mengerjakan tugas kuliah. Tapi aku menolak. Aku sedang tidak ingin pergi ke cafe. Lalu dia mengubah tujuan kami dan mengajakku ke tempat lain. Kami duduk berdua berhadapan. Lalu tanpa aku tanya, dia langsung menceritakan kejadian sore tadi.
“Jadi kamu benar jadian sama Savi?”, tanyaku.
“Aku gak ada pilihan lain untuk bilang selain Iya saat itu Han. Kalau aku bilang enggak, kasian Savi malu di depan teman-temannya. Savi selama ini baik sama aku. Jauh sebelum kita dekat, aku udah kenal dia.”, jawabnya.
“Emang kamu gak mikirin aku saat itu?”, tanyaku lagi.
“Kamu suka sama aku? Kamu gak pernah bilang Han. Kamu selama ini cuma bilang kita sahabat. Aku gak tahu perasaan kamu.”, jawabnya.
Aku diam. Memang selama ini aku selalu bilang bahwa kami bersahabat. Tak salah memang yang diucapkan Athar.
“Setelah selama ini kita barengan, emang aku masih perlu bilang?”, tanyaku sambil menurunkan nada bicara. Hampir saja aku menangis, menyesali kebodohanku yang tidak terus terang dan tidak membiarkan Athar terus terang tentang perasaan kami.
“Sepertinya iya. Aku juga gak pernah mengungkit ini karena aku gak mau ngerusak persahabatan kita. Aku tau kamu gak mau pacaran, kamu mau fokus kuliah, kamu mau ngejar beasiswa ke Jerman. Aku gak mau ganggu itu Han.”, jawabnya.
“Tapi kenapa kamu harus jadian?”, tanyaku.
“Kalo kamu gak suka, aku bisa bilang sama Savi. Aku minta udahan aja sama dia. Aku telpon dia sekarang. Daripada kamu marah sama aku.”, kata Athar.
“Gak usah. Kasian Savi ntar malu. Dia sepertinya suka banget sama kamu sampai segitunya menyatakan cinta di depan banyak orang. Kata Aida, cowok yang kalau ada cewek nyatain cinta ke dia lalu dia terima, berarti cowok itu baik.”, jawabku ketus.
“Iya kan dari dulu aku baik Hanaaaa.”, jawabnya meledek.
“Jangan berubah. Aku cuma takut kita gak bisa sahabatan lagi karena Savi. Biarin kamu kenal dia duluan daripada aku. Tapi aku sahabat kamu.”, kataku sedikit memaksa.
“Iyaaa bawel. Sabtu ini aja kita tetep pulang bareng. Gak akan ada yang berubah, tenang aja.”, kata Athar.
Bagaimana hatiku? Tetap sesak rasanya. Tapi aku memilih untuk menerima dan tidak memaksa mengubah apa yang telah terjadi. Athar tetap jadian dengan Savi. Entah kenapa serasa aku hanya perlu pasrah menerimanya. Lagi-lagi aku enggan menyatakan sejujurnya perasaanku.
Namun yang terpenting bagiku adalah Athar dan aku tetap bersahabat dan tidak akan ada yang berubah dengan persahabatan kami. Itu sudah cukup melegakan. Biarkan dia dalam pikirannya mengira aku hanya menyukainya sebagai sahabat.
Setelah mengantarkanku ke kost-an, dia kemudian pamit pulang. Sebelumnya dia tiba-tiba berhenti di samping tukang nasi goreng dekat kost-an. Memesan satu nasi goreng ayam kesukaanku. Dia tahu dari tadi aku lapar tapi malas makan karena masalah ini. Dia tetap menjadi sahabat yang baik.