Kembali

Bismillah,

Beberapa tahun yang lalu, ibuku menelponku, mengabarkan bahwa Pak Dhe ku kapundut, dan ibu menceritakan betapa hebatnya kakak sepupuku yang tampak begitu tegar, tak terlihat air mata ataupun raut kesedihan di wajahnya. Dia tampak baik-baik saja, sibuk menyambut tamu yang datang, sesekali berbincang, dan mengurus semua hal yang diperlukan saat itu. “Hebat sekali”, batinku dalam hati. Bahkan akupun tidak bisa membayangkan jika aku di posisinya. Entah betapa kacaunya diriku.

Tahun 2021, takdir Allah, aku berada di posisi seperti yang dialami kakak sepupuku. Aku pun kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Ini seperti mimpi buruk yang akhirnya menjadi kenyataan. Sesuatu yang dari kecil sangat aku takutkan, akhirnya terjadi. Situasi semakin berat karena saat itu kondisi pandemi yang mana aku sudah tidak bertemu beliau selama berbulan-bulan, mendadak beliau pergi.

Aku tidak akan menceritakan detailnya, karena begitu berat bagiku. Aku ingat beberapa bulan sebelumnya, tiba-tiba aku mengalami kecemasan yang sangat berat, sering mendadak jantungku berderbar kencang, seperti sesak napas, berkeringat dingin, dan tidak bisa tidur. Sampai suatu hari aku pernah ke Poliklinik kantor karena kondisiku yang tidak lagi bisa ku kendalikan, dan dokter kantor meresepkan obat penenang jika memang aku terpaksa membutuhkannya.

Kecemasan itu berlangsun hingga beberapa bulan, aku cemas tanpa alasan. Sampai suatu hari, ibu mengabariku kalau ayahku sakit dan dirawat di RS. Aku merasa itu seperti jawaban atas kecemasanku, entah kenapa perasaanku semakin tidak menentu. Aku merasa ini bukan sakit seperti biasa. Aku berdoa, terus berdoa, berharap Allah masih memberikan kesembuhan, namun apa yang aku upayakan, apa yang aku harapkan, tidak selalu yang terbaik. Allah berkata lain. Ayah harus pulang.

Aku belajar untuk menerima takdir, karena “Allah tau yang terbaik”.

Saat mendapat kabar dari ibuk, aku takut ibuku akan pingsan dan menangis sejadi-jadinya. Namun, saat itu ibu kuat. Aku? Sungguh di luar dugaanku. Aku sama sekali tidak menangis, aku langsung bersiap untuk pulang kampung. Sepanjang perjalanan, banyak saudara yang menelponku dan menanyakan kabarku. Juga sesampainya di rumah, tetangga dan saudara datang menyambutku, mereka tak kuasa menahan air mata, menangis sejadi-jadinya.

Aku masih saja tidak menangis. Entah kenapa air mata ini tidak bisa keluar. Aku mendatangi ibu, adek, dan mbah. Mereka pun tidak menangis. Disaat banyak orang lain menangis, justru kami tidak. Entah, mungkin teramat sakitnya hati kami, hingga air matapun tak sanggup keluar. Kami diam, hanya saling menguatkan. Meski tak terucap, kami sepakat untuk mengantarkan bapak dengan ikhlas dan bahagia, bapak sudah melaksanakan tugas di dunia ini dengan baik, lalu untuk apa kami memberatkan perjalananya dan menangisi kepergian, yang justru ini akan menjadi perjalanannya ke tempat yang lebih baik.

Saat itu, memang aku kuat. Aku kuat untuk keluargaku, karena aku merasa akulah anak pertama dan aku harus kuat. Tapi tak kusangka ternyata itu hanyalah kesedihan terberat yang tak bisa aku ungkapkan. Mungkin karena aku masih belum sadar bahwa itu kenyataan, aku beberapa kali masih berharap itu hanya mimpi.

Beberapa bulan setelah itu, semakin jelas bahwa itu kenyataan, aku makin sering berontak. Marah dengan kenyataan, menangis sejadi-jadinya, yang hanya aku dan suamiku yang tau. Bahkan sampai sekarang pun (setelah setaun kepergiaan bapak) aku masih belum bisa kembali normal. Tiada hari tanpa mengingat bapak, karena dulu hampir setiap hari aku selalu WA ke bapak. Beberpa hal berubah dalam hidupku, aku sudah tidak bisa membaca novel, aku tidak bisa menulis cerpen (ini pertama kalinya aku nulis d blog setelah kejadian itu), aku tidak bisa jalan-jalan ke tempat wisata atau mall untuk bersenang-senang. Hatiku terasa hampa, ada bagian yang hilang.

Bahkan aku sempat beberapa kali menghubungi psikolog untuk konsultasi online, namun sama saja. Aku tetap merasa hampa. Aku ikhlas dan bahagia bapak pergi di saat terbaiknya, namun aku merasa aku belum siap ditinggalkan. Aku masih butuh. Aku sadra, aku yang terlalu egois memikirkan diriku sendiri.

Beberapa hari belakangan ini, untuk pertama kalinya aku menelpon ibu dan mengabarkan bahwa kondisiku tidak baik-baik saja. Meskipun aku tahu ibuku pun begitu, beberapa kali ibu terasa sedang bersedih. Namun saat itu ibu bilang bahwa kita ga boleh egois, ga boleh sedih terus, justru harus bahagia dan bangga karena bapak menyelesaikan tugas dengan baik, sangat baik.

Aku pun merasa harus “KEMBALI”, menjalani kehidupanku dengan baik. Meski ada bagian yang hilang dan pasti tak akan lagi sama, namun aku harus melanjutkan hidup dengan baik agar kelak aku akan dipertemukan dengan orang-orang yang aku cintai di tempat terbaik yang kekal selamanya.

Semoga aku bisa.

2 thoughts on “Kembali

  1. Halo Mba. I feel you.

    Papa dan mama saya berpulang September lalu. Hanya selang 2 hari.

    Sama sepertimu, saya waktu menangis “sekadarnya”. Justru orang-orang yang menyampaikan duka lebih terlihat bersedih dibandingkan saya.

    Sama sepertimu, saya anak pertama dan di antara 3 bersaudara, saya yang tinggal dengan kedua orang tua.
    Setiap hari ada kenangan dengan keduanya di rumah ini.

    Namun saya masih bisa menulis selepas kepergian keduanya karena saya tidak suka dengan ucapan beberapa orang terkait proses yang ada padahal saya dan adik2 sudah sedemikain ikhlas dan ridho.
    Namun rupanya sesekali saya tiba2 menangis usai shalat. Menangis karena rindu yang menghebat kepada keduanya. Aktivitas saya (ngeblog) membantu saya untuk cepat kembali kepada kehidupan semula meski itu tidak mudah juga.

    Semoga ke depannya, kita bisa pelan-pelan melangkah ke depan ya. Semoga Tuhan membantu kita.
    Hug.

    1. Halo mba,
      Ternyata ada yg senasib ya mba. Memang rasanya rindu sekali, tapi tidak tersampaikan. Hanya lewat doa, semoga kita masih bisa menjadi anak berbakti ya mba.

      Iya nih, aku juga perlahan mau mulai nulis lagi. Tadi iseng-iseng buka blog, nulis, kok rasanya lega gitu. Karena emg nulis tu kyk curhat ya mba.

      Semangat buat kita ya ! Salam kenal mba. Semoga sehat” selalu mba dan keluarga ya 🙂 Terima kasih sudah berbagi semangat.

Leave a reply to Adininggar Khintana Cancel reply