Makan

Faktor utama yang menentukan enak tidaknya makanan bukanlah seberapa mahal/mewahnya makanan, tapi dengan siapa kita makan. Makanan sederhana murah meriah terasa begitu nikmat saat kita makan bersama keluarga, orang yang kita sayang, yang selalu kita harapkan kedatangannya. Sebaliknya, makanan restoran mahal bisa saja terasa biasa saja kalau makannya bersama orang yang juga biasa saja.

Maka tak heran orang Jawa berpedoman, makan gak makan yang penting kumpul. Karena kumpul bersama keluarga adalah hal yang paling berharga buat mereka. Itu dulu.Ya, sekarang kebanyakan orang Jawa sudah meninggalkan prinsip itu. Karena keadaan mereka pun memilih merantau ke berbagai tempat dengan berbagai alasan. Berpisah sementara dengan keluarga mereka di Jawa dan pulang hanya saat” tertentu. Itulah yang dinamakan jalan hidup, terkadang bisa sesuai keinginan kita terkadang tidak. Seperti aku, menjadi salah satu anak Jawa perantauan yang sudah tinggal lama di Jakarta. Walaupun sudah menikah dan tinggal bersama suami, tetap saja ada rasa rindu kampung halaman. Rindu daerah asal dengan segala yang ada di sana.

Terkadang merasa ingin kembali ke kampung halaman, sederhana saja, hanya ingin makan bareng keluarga, bercerita kejadian dikerjaan setiap harinya, bercanda, mengobrol, membantu orang tua, dan kegiatan lainnya yang bisa dilakukan seorang anak yang tinggal dekat dengan orang tuanya. Ingin pindah ke kampung halaman. Namun, lagi” ku ingat, setiap orang punya jalan hidupnya masing”, punya takdir kehidupan masing” yang harus dijalani oleh semua keluarga dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.

Bisa jadi jalan orang lain terlihat lurus, namun banyak tanjakan turunan disepanjang jalan. Sedang jalan yang harus kita tempuh terlihat berkelok-kelok banyak tikungan namun lebih datar. Setiap manusia punya jalannya masing” sesuai kemampuannya untuk sampai ke tujuannya.

Nah, balik lagi ke makanan. Semua pemikiran ini terpikirkan saat aku dan suami makan tahu dan telur goreng bumbu kecap masakan mbah sisa tadi siang saat keluargaku datang berkunjung ke Bekasi. Justru ketika mereka kesini, aku yang sebelumnya berencana mengajak mereka makan di restoran enak di Jakarta/Bekasi sampai” aku dan suami bingung mau makan apa? Teko, Ra Cha, Tawan, Shaburi, Pizza Hut atau restoran lainnya. Aku ingin mereka merasakan makanan yang tidak ada di Pati. Tapi rencanaku itu urung kami lakukan. Akhirnya kami lebih suka berada di rumah makan masakan rumahan biasa yang bahan makanannya dibawa dari Pati. Makan ikan asap masak santan, oseng pindang, tahu, tempe, ikan asap penyet sambel terasi, sayur bayam (beli bayam di sini). Bahkan makan siomay yang tak sengaja lewat depan rumah pun terasa sangat nikmat. Padahal sebelumnya setiap kali kang Somay lewat, aku tak begitu tertarik untuk membelinya. Makanan sederhana yang saat itu ku makan bersama keluarga, masya Allah terasa begitu nikmat. Alhamdulillah, aku bersyukur.

Itulah kenapa ku bilang, dengan siapa kita makan lebih utama dari pada seberapa mewahnya makanan itu.

Maka dari itu, bagi teman” yang sudah berkeluaga, alangkah baiknya kita usahakan selalu makan bareng suami, bareng keluarga. Lebih bagus lagi kita usahakan untuk selalu masak. Percayalah, seabsurb apapun masakan kita, suami akan lebih suka makan masakan istri dibandingkan beli makanan di luar. Rasa cinta yang datang dari istri itu mengalahkan keabsurb-an rasa masakan itu sesungguhnya.

2 thoughts on “Makan

  1. bahkan di Jawa ada istilah makan ndak makan asal kumpul kalo saya artikan bebas menurut saya pribadi yang paling diutamakan adalah pada kumpulnya bukan pada makan. Rasa bahagia dengan berkumpul mengalahkan rasa lapar tdk makan, dan kalau situasinya menjadi makan dan berkumpul tentunya lebih enak, seger makannya walau makannya dengan lauk seadanya.. 😀

Leave a comment