Kembali

Bismillah,

Beberapa tahun yang lalu, ibuku menelponku, mengabarkan bahwa Pak Dhe ku kapundut, dan ibu menceritakan betapa hebatnya kakak sepupuku yang tampak begitu tegar, tak terlihat air mata ataupun raut kesedihan di wajahnya. Dia tampak baik-baik saja, sibuk menyambut tamu yang datang, sesekali berbincang, dan mengurus semua hal yang diperlukan saat itu. “Hebat sekali”, batinku dalam hati. Bahkan akupun tidak bisa membayangkan jika aku di posisinya. Entah betapa kacaunya diriku.

Tahun 2021, takdir Allah, aku berada di posisi seperti yang dialami kakak sepupuku. Aku pun kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Ini seperti mimpi buruk yang akhirnya menjadi kenyataan. Sesuatu yang dari kecil sangat aku takutkan, akhirnya terjadi. Situasi semakin berat karena saat itu kondisi pandemi yang mana aku sudah tidak bertemu beliau selama berbulan-bulan, mendadak beliau pergi.

Continue reading “Kembali”

Ucapan

Entah kenapa tapi aku selalu mengingat ucapan yang “orang lain” katakan kepadaku. Gak semua orang sih, hanya beberapa orang yang aku mintai tolong mungkin, atau yang aku merasa dekat dengan mereka. Dan seketika mereka mengingkarinya, aku akan sangat kesal dengan mereka, siapapun itu. Lalu aku mulai timbul rasa curiga, ah mungkin dia/mereka hanya basa-basi, hanya beralasan untuk tidak menepati apa yang mereka katakan. Tak jarang ekspresiku langsung berubah, bisa menjadi sangat bertanduk, alias jutek.

Huuuuuuuuuffffff, tarik napas yang dalam lalu hembuskan perlahan. Aku sadar tidak boleh bersikap seperti ini. Toh ditepati atau tidak, itu masalah mereka. Bukan aku yang mengendalikan. Aku cuma bisa mengendalikan diriku sendiri. Memilih untuk bersikap super jutek atau meresponnya dengan biasa saja.

Hari ini, aku memilih merespon biasa saja. Ku jawab dengan sopan teman yang tidak menepati apa yang telah diucapkannya. Oke baiklah, ku rasa aku sudah cukup baik dengan tidak menjawabnya dengan jutek. Hanya saja, mungkin aku butuh beberapa hari lagi untuk kembali bisa bersikap biasa saja kepada dia.

Kadang aku bertanya kenapa aku begini? Mungkin karena terlalu berekspektasi. Aku berpikir orang akan sama baiknya denganku ketika aku pun bersikap baik dengan mereka. Orang akan menepati apa yang telah mereka janjikan kepada orang lain, sesepele apapun itu. Bukankah saat kita berkata, akan ada orang yang menaruh harapan atas perkataan kita kepadanya. Ternyata tidak semua. Bapak & Ibuk pernah bilang, “Di dunia ini meski kita selalu berbuat baik, akan ada orang yang bersikap kurang baik dengan kita. Tak apa, itulah hidup.” Dan ternyata apa yang dikatakan bapak & ibuk adalah benar.

Intinya segimanapun orang bersikap sama kita, jangan terlalu berekspektasi dan berharap kepadanya/mereka karena sesungguhnya mereka bersikap baik hanya karena “kepentingan”. So, biasa saja. Jangan sedih kalau tidak ditepati janjinya dan jangan terlalu bahagia jika dibaikin.

Berkebalikan

Tak ada yang pernah menyangka di tahun 2020 ini semua penduduk di dunia akan mengalami kondisi yang “berkebalikan”. Pandemi 2020, mungkin ini akan menjadi sejarah dunia yang diingat sepanjang masa bahkan sampai anak cucu kita. Banyak hal yang berubah selama pandemi, pun kehidupan ku juga sedikit banyak ikut berubah.

Perubahan pertama, berat badanku turun 4 kg. Haha. Ternyata bukan hanya aku, beberapa temanku pun mengalami berat badan turun. Kata temanku sih karena selama pandemi ini kita jarang jajan sembarangan, jadi lebih terkontrol makanannya. Padahal sebelum pandemi, rasanya susah untuk menurunkan berat badan. Hasilnya, seragam kantor yang awalnya ga muat menjadi muat.

Kedua, aku jadi rajin memasak. Setiap harinya, aku rutin bangun jam 4/4.30 pagi untuk memulai masak. Untungnya aku mendapatkan WFH selama 2 bulanan. Selama itu aku rajin memasak dan sama sekali tidak pernah membeli makan di luar entah itu ke warung atau go food/grab food. Setelah tidak ada lagi WFH (full WFO) aku tetap memasak sarapan dan makan siang untuk suami (karena suamiku masih WFH) dan untukku bekal di kantor. Sedangkan makan malam aku biasanya beli makan. Ga nyangka banget aku bisa serajin ini masak. Dulu sangat malas untuk masak, bahkan weekend pun biasanya memilih untuk beli makan di luar. Sedangkan sekarang mau gak mau harus masak. Hasilnya, skill memasakku meningkat. Haha. Bahkan aku merasakan kesenangan saat memasak. Kalau ditanya capek/gak? Ya capek sih, kadang suami malah bilang kalo gak usah masak gak papa. Tapi aku tetap saja masak karena masak seperti hiburan bagiku. Denger suara glontang2, srang sreng di pagi hari itu menambah semangat. Oh iya, selain itu aku juga sering buat wedang jahe kunyit dll untuk diminum.

Ketiga, hidup bersih. Rajin cuci tangan dan selalu pakai masker. Bahkan setiap hari harus ganti baju seragam. Ini nih yang bikin pagiku makin sibuk, karena harus menyetrika seragam tiap pagi. Dari sekian banyak seragam dari kantor (setiap tahun dapat 2 seragam baru), hanya 3 celana yang pas di aku. Ya karena berat badanku turun jadi beberapa celana kebesaran. Untungnya suami WFH jadi terkadang dia bisa membantu cuci baju di siang hari (eits cucinya pakai mesin cuci kok).

Keempat, stay at home. Aku dan suami hampir tidak pernah pergi keluar selain untuk bekerja & beli keperluan yang emang butuh banget. Bahkan untuk beli sayur/bahan makanan aja aku pesen online. Beli galon aqua pesen juga. Haha. Saking jarangnya kami keluar, sampai-sampai saat itu sabtu sore kami berpakaian rapi karena ada perlu ke rumah temen kerja. Lalu tetiba saat melewati pos satpam, si bapak satpamnya nyeletuk “Wah malam mingguan ya mas mba”, sambil tersenyum seakan-akan mereka akhirnya melihat kami pergi malam mingguan setelah sekian lama. Belakangan ini kami sudah mulai sedikit-sedikit keluar. Aku dan suami minggu sore akan keluar untuk belajar menyetir dan beli kopi kenangan (Mari Regal favoritku). Haha. Kami sudah berencana untuk olahraga (jogging & sepedaan) karena suami ngasih sepeda baru ke aku. Cuma belum juga terlaksana, aku terlalu mager untuk pergi-pergi, begitupun suamiku. Kami berdua memang tipe-tipe yang lebih nyaman di rumah daripada di keramaian.

Terakhir dan yang paling menyesakkan adalah aku belum bisa pulang kampung. Selama aku di Jakarta sejak tahun 2010, saat ini lah paling lama aku gak bisa pulang kampung. Bahkan saat lebaran pun aku ga bisa pulang. Kangen, sangat. Sesekali saat rasa kangen ini tidak bisa dikontrol, membuatku menjadi susah tidur. Aku mulai membuka games di handphone untuk mengisi waktu malam hari agar aku ngantuk, tapi terkadang hal itu sia-sia juga. Entah, susah di deskripsikan sih rasanya ga bisa pulang. Yang pasti sangat menyesakkan apalagi kita ga tau kapan pandemi ini berakhir. Aku cuma bisa berdoa semoga semua keluarga diberikan kesehatan.

Sekian cerita tentang pandemi. Semoga ini menjadi kenangan dan pelajaran buat kita semua. Hal yang biasanya malas kita kerjakan, menjadi berkebalikan, sering kita kerjakan karena memang situasi mengharuskannya. Banyak hikmah yang bisa diambil dan direnungkan. Semoga pandeminya segera selesai dan kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Sisi Lain

Ternyata semakin mengenal seseorang, akan banyak sisi lain dari dirinya yang terlihat pada kita. Seperti hari ini, salah satu teman kantor mengirimkanku pesan panjang di Whats App dengan judul “Salah kirim email”. Aku pikir, mungkin dia salah kirim email lalu memintaku untuk mengeceknya, wajar karena aku orang IT. Aku mulai baca pesan itu. Semakin ku baca ternyata isinya seperti sebuah cerita. “Oh mungkin kisah-kisah inspirasi yang biasa di broadcast di WA”, lalu aku hentikan membacanya karena terlalu panjang ceritanya.

Keesokan harinya kami bertemu di kantor, lalu dia menyapaku dan bertanya apakah aku sudah membaca pesan darinya atau belum. Aku bilang hanya membaca sekilas. Dia pun berkata bahwa itu kisah nyata dan dia hanya mengirimkan ke orang-orang tertentu saja, termasuk aku. “Duh” dalam hatiku merasa tidak enak karena belum sempat membacanya. Aku pun berkata jika nanti akan aku baca.

Di sela-sela waktu istirahat, aku sempatkan membaca kisah yang cukup panjang itu. Intinya sih bercerita tentang pengalaman dia di kantor. Pengalaman yang membuat dia cukup malu, tapi menurutku itu biasa saja. Beda orang beda sikap pastinya. Lalu aku WA ke dia “Mba, aku udah baca ceritanya”. Dia pun membalas “Jadi gimana kesimpulannya?”. Aku bingung ditanya begitu. Tak ku sangka dia menyuruhku menyimpulkannya. Hmm.. Ku mula berpikir untuk mengeluarkan komentar yang sekiranya akan diterima baik olehnya, karena memang temenku ini sangat perasa jadi aku harus hati-hati berucap.

“Gak apa-apa mba, itu hal yang wajar. Justru kadang momen-momen begitu jadi lucu buat jadi cerita di masa depan kalo udah kelewat. Dan orang-orang yang bercandain kita bisa jadi karena mereka perhatian, bukan niat ngeledek, karena memang ga ada yg perlu diledek kok.” Send. Aku kirimkan pesan itu. Dia pun merespon dengan positif . Lalu kita melanjutkan sedikit obrolan.

Satu hal yang aku pelajari bahwa setiap orang ternyata mempunyai sisi lain dari dirinya yang mungkin hanya dia tunjukkan ke orang-orang yang dia pilih. Seperti temenku ini, aku gak pernah tau dia bisa berkisah melalui cerita sepanjang itu. Ternyata dia lakukan itu. Mungkin bagi orang-orang yang tidak banyak bicara, menulis menjadi salah satu cara untuk meluapkan emosinya, agar pundak lebih ringan dikala ada badai datang.

Juga setiap orang pasti memerlukan orang lain untuk menjadi tempat cerita. Bukan untuk meminta solusi melainkan hanya untuk bisa menjadi pendengarnya. Cukup menjadi pendengar yang baik sudah akan sangat berarti bagi mereka.

Hari ini aku bertekad untuk berusaha menjadi pendengar, bukan lagi pencerita. Sepertinya selama ini aku lebih sering menjadi pencerita. Kata temenku sih kalo aku yang cerita kadang jadi lebih hidup (halah). Tapi ku putuskan untuk mencoba menjadi pendengar yang baik karena dengan mendengar kita bisa belajar dari orang lain. Hehehe

Setelah sekian lama ga posting di blog, okelah ku posting. Kali ini postingannya suka-suka, mau nulis apa aja yg penting posting aja. 🙂

Menyerah atau Bertahan?

Banyak hal di dunia ini yang un-controllable oleh kita. Terkadang hal itu membuat diri kita merasa lelah, ingin menyerah tapi harus bertahan. Mungkin banyak orang pernah berada di situasi seperti ini. Misalnya, ingin berhenti bekerja karena hectic-nya pekerjaan yang semakin lama semakin mengganggu tatanan kehidupan pribadi. Tapi kalau berhenti bingung dengan cicilan-cicilan yang ada di depan mata, atau mungkin bingung untuk mengisi waktu sehari-hari karena belum punya anak. Bisa juga pengen berhenti dari pekerjaan yang gak sesuai dengan harapan diri sendiri, tapi kalau berhenti kerja lalu apa kabar kebutuhan sehari-hari, biasa makan di restoran, travelling around the world, skin care, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka pada akhirnya mereka memilih untuk bertahan.

Tak jarang pula yang berani mengambil resiko. Menyerah lalu pasrah sepasrah pasrahnya sambil terus berusaha membuka jalan lain dan yakin akan indah pada waktunya. Maka pada akhirnya mereka berhasil dengan pilihannya.

Un-controllable things itu merupakan suatu tantangan dalam hidup ini. Makin lama kita bertahan, makin mungkin juga semua itu berlalu. Atau bisa jadi sebagai pembuka jalan kita untuk mau bergerak mencari sesuatu yang baru yang lebih sesuai. Sesuatu hal yang aku pelajari dan aku buktikan adalah

“Menyerah atau bertahan, adalah suatu pilihan. Jika kita bergerak, semesta pun ikut bergerak”.

 

 

Senyawa – 1

Usiaku sudah lebih dari seperempat abad tahun ini. Namun aku masih belum tahu benar bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Dibandingkan orang lain, terkadang aku merasa kurang beruntung, tatkala mereka diusia yang mungkin dibawahku sudah bisa merasakan apa itu cinta. Bahkan banyak dari mereka yang sudah menemukan cinta sejatinya, memutuskan untuk mengikat cinta mereka dalam suatu ikatan suci, pernikahan.

Semenjak jaman mulai berubah, banyak orang yang memutuskan untuk “menikah muda”. Bagus memang, namun bagi orang-orang yang senasib denganku, fenomena ini mungkin tidak begitu menyenangkan, karena semakin banyak anak muda menikah, maka akan semakin banyak orang yang menanyakan tentang “keterlambatan”-ku menikah, walaupun bagiku tak pernah ada kata terlambat untuk menikah.

Cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. Tidak semua orang beruntung bisa menyatukannya. Ada yang menikah tanpa saling mencintai. Namun ada pula yang mencintai tapi tak bisa bersatu dalam pernikahan. Sedangkan aku, tetap berharap mendapatkan keduanya. Menikah dengan orang yang memang aku cintai. Itu doaku yang selalu kuucapkan. Mungkin keterlambatan-ku menikah ini adalah salah satu cara Allah untuk menyimpan sebaik-baik laki-laki untukku kelak.

Dibalik keadaanku ini, aku masih bersyukur karena lahir di keluarga yang memiliki pemahaman yang selalu sama walaupun jaman sudah berubah. Bahwa, akan ada saatnya kita menikah tanpa perlu membandingkan dengan orang lain yang sudah lebih dahulu menikah. Juga mempunyai teman-teman yang satu nasib dan satu pandangan. Jadi, pada akhirnya aku berusaha untuk tidak menganggap kondisiku ini sebagai suatu ketidakberuntungan, melainkan memang semestinya seperti ini.

Aku pun mulai mengisi waktu-waktuku dengan kegiatan positif, mungkin banyak hal yang Allah titipkan kepadaku untuk aku selesaikan sebelum aku menikah.

***

Hari ini, aku dan sahabat-sahabatku janjian bertemu di Kedai Kopi Tuli.  Salah satu sahabatku, Nisa mengundang kami. Aku sengaja berangkat lebih awal agar bisa bertemu dan mengobrol dengan temanku Diana yang bekerja di sana. Sesampainya di Kedai Kopi, aku duduk di bangku pojok dekat dengan jendela, tak lama kemudian Diana datang menghampiriku. Dia tersenyum menyapaku seperti biasanya yang dia lakukan ketika kami bertemu.

“Hai Ai-sha, la-ma tak ber-te-mu”, katanya.

Continue reading “Senyawa – 1”

Kembali

Beberapa minggu ini aku merasa aneh. Berawal dari hadirnya tamu yang sangat amat tidak kuharapkan. Saat itu aku mood-ku mulai berubah. Mendadak suka marah dan sedih. Meratapi nasib, dan terlalu sering pertanyaan “Kenapa” datang mengganggu pikiranku.

Aku menyerah, mulai menyalahkan diri sendiri dan keadaan. Akhirnya aku pun mulai malas makan. Aku memaksakan diri pulang kampung hari Sabtu pagi dan Minggu sore kembali lagi ke Jakarta, tanpa suamiku ikut. Hari Senin, aku sampai di rumah sebelum subuh. Entah kenapa mendadak badanku terasa lemas. Aku enggan bangun untuk berangkat kerja. Tapi tetap kupaksakan, aku pun sengaja telat berangkat karena badanku terlalu lemas.

Hari Senin – Rabu aku bekerja dengan kondisi badan yang masih kurang fit. Aku memutuskan untuk minum obat Paracetamol dan Demacolin, berharap badanku semakin membaik. Beberapa saat memang membaik, tapi ternyata perkiraanku salah. Hari Rabu malam badanku kembali demam tinggi. Aku menyerah. Hari Kamis pagi aku diantar suami datang ke Klinik dekat rumah untuk periksa ke dokter. Badanku demam, tenggorokan sakit parah, batuk-batuk, juga semua badanku terasa capek.

Tidak seperti biasanya, hari ini dokternya telat datang. Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dokter yang tak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke Klinik lain. Alhamdulillah, hanya menunggu sekitar 10 menit aku pun sudah keluar dari ruang dokter. “Radang Tenggorokan”, begitulah kata dokter menjelaskan sakitku.

Hari Kamis – Jumat aku tidak masuk kerja. Sakit ini terus berlanjut kurang lebih 1 minggu baru aku benar-benar merasakan diriku yang dulu akhirnya kembali. Sebelumnya aku merasa seperti lemas dan tidak ada semangat. Pikiran kosong, enggan melakukan apapun, bahkan aku jarang mengobrol dengan suami. Aku hanya ingin tiduran di kasur dan diam tidak melakukan apapun.

Aku menyadari mungkin sakitku karena aku terlalu keras pada diri sendiri. Terlalu dalam merasakan kesedihan yang sebenarnya tidak perlu disedihkan.

Ketika badanku sudah agak mendingan, aku memutuskan untuk kembali bekerja. Berbeda dari sebelumnya,aku tetap masih kehilangan semangat. Aku tidak segiat biasanya. Aku seperti sedang marah dengan diriku, orang disekitarku, dan dengan keadaanku. Aku rasanya ingin menjauh. Toh buat apa aku dekat kalau tetap saja keadaan tidak berubah, pikirku.

Tetapi apa yang aku pikirkan itu benar-benar salah. Semakin aku menjauh, semakin pula  aku tak merasa tenang. Lalu, aku pun memutuskan untuk kembali. Memulai lagi.  Sejatinya untuk apa sih hidup ini jika bukan untuk beribadah. Dan jika  memang ini jalanku untuk mendapatkan pahala lebih dari orang lain, maka aku ikhlas.

***

Tulisan di atas ditulis saat Minggu pertama bulan Ramadhan. Selama bulan ramadhan aku merasa ibadahku kurang maksimal, karena semua itu. Sedangkan tulisan ini aku tulis di bulan Juli, dimana aku sudah benar-benar memutuskan untuk kembali. Kembali menjalani kehidupan dengan biasanya. Aku sadar, semakin aku marah dan menyalahkan keadaan, justru membuatku semakin tidak tenang. Sedangkan ketika aku kembali ikhlas menerima keadaan, aku akan merasa tenang karena Allah ada didekatku. Seberat apapun, aku yakin Allah akan selalu menguatkanku.

Ada satu permasalahan, namun ada banyak jalan yang bisa kita tempuh. Aku pernah menempuh satu jalan, dan mungkin aku harus mencoba jalan lain yang lebih baik.

“Aku baik-baik saja”, yang selalu aku katakan pada diri sendiri dan yang selalu aku perlihatkan ke orang lain tentangku. Namun, dibalik itu semua, aku memang selalu berusaha untuk itu.

Makan

Faktor utama yang menentukan enak tidaknya makanan bukanlah seberapa mahal/mewahnya makanan, tapi dengan siapa kita makan. Makanan sederhana murah meriah terasa begitu nikmat saat kita makan bersama keluarga, orang yang kita sayang, yang selalu kita harapkan kedatangannya. Sebaliknya, makanan restoran mahal bisa saja terasa biasa saja kalau makannya bersama orang yang juga biasa saja.

Maka tak heran orang Jawa berpedoman, makan gak makan yang penting kumpul. Karena kumpul bersama keluarga adalah hal yang paling berharga buat mereka. Itu dulu.Ya, sekarang kebanyakan orang Jawa sudah meninggalkan prinsip itu. Karena keadaan mereka pun memilih merantau ke berbagai tempat dengan berbagai alasan. Berpisah sementara dengan keluarga mereka di Jawa dan pulang hanya saat” tertentu. Itulah yang dinamakan jalan hidup, terkadang bisa sesuai keinginan kita terkadang tidak. Seperti aku, menjadi salah satu anak Jawa perantauan yang sudah tinggal lama di Jakarta. Walaupun sudah menikah dan tinggal bersama suami, tetap saja ada rasa rindu kampung halaman. Rindu daerah asal dengan segala yang ada di sana.

Terkadang merasa ingin kembali ke kampung halaman, sederhana saja, hanya ingin makan bareng keluarga, bercerita kejadian dikerjaan setiap harinya, bercanda, mengobrol, membantu orang tua, dan kegiatan lainnya yang bisa dilakukan seorang anak yang tinggal dekat dengan orang tuanya. Ingin pindah ke kampung halaman. Namun, lagi” ku ingat, setiap orang punya jalan hidupnya masing”, punya takdir kehidupan masing” yang harus dijalani oleh semua keluarga dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.

Continue reading “Makan”

Tamu dari Jepang

Sudah menjadi agenda rutin di kantorku jika ada beberapa orang dari Company Group yang datang berkunjung. Biasanya mereka berkunjung untuk melihat perkembangan proses manufaktur di pabrik kami. Semenjak satu tahun terakhir, semakin sering mereka berkunjung berkaitan dengan issue implementasi IoT di pabrik.

Perusahaan kami memang bukan yang pertama, namun kami mencoba mengimplementasikan IoT semaksimal mungkin. Berkat hasil kerja keras teman-teman di tahun 2017, perusahaan kami terkenal dengan IoT-nya di Company Group. Menjadi terkenal, bisa mendatangkan sesuatu yang positif dan negatif (aku melihatnya demikian). Sisi positifnya, nama baik perusahaan semakin dikenal di Company Group dan yang terpenting di Customer, sehingga meningkatkan kepercayaan customer untuk bekerjasama dengan perusahaan. Sedangkan sisi negatifnya, harus mempertahankan nama baik itu. Mempertahankan terkadang lebih susah karena di luar sana, banyak perusahaan-perusahaan di Company Group yang akan mencoba membuat IoT lebih bagus dari pada kita. Dan sebagai yang bisa dibilang lebih dulu mengimplementasikan IoT, perusahaan kita harus selalu melakukan improvement-improvement terbaru.

Continue reading “Tamu dari Jepang”

Jarak – Berpisah

Bangku di taman masih sama seperti saat pertama kali aku datang ke kampus ini bersama ayah dan ibu. Bedanya, hari ini tak banyak mahasiswa mengobrol atau sekedar duduk di taman menunggu jam kuliah. Gerimis sedari pagi membuat taman kampus basah berair dan sepi.

Aku suka hujan, hujan selalu datang membawa kembali cerita-cerita lama untuk dikenang. Mengingatnya kadang membuatku rindu, rindu tentang masa lalu, juga tentang perjuangan atas apa saja yang sudah diriku lakukan hingga aku bisa melanjutkan kuliah di kampusku yang sebentar lagi akan kutinggalkan.

Tak terasa perkuliahan di kampus sudah hampir selesai. Tiga setengah tahun aku menghabiskan waktu disini, bertemu dengan orang-orang baru yang kemudian menjadi sahabat, belajar banyak hal dari yang awalnya terasa berat sampai akhirnya aku benar-benar menyukai semua yang ada disini.

Aku menyelesaikan kuliah lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena aku pintar, aku hanya cukup beruntung bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Masih ada enam bulan lagi untuk menunggu waktu wisuda bersama teman-teman seangkatanku. Sambil menunggu waktu wisuda, aku kembali mencoba memanfaatkan waktuku dengan baik. Saat masih dalam perkuliahan, aku sempat mendaftarkan diri untuk mengikuti Student Exchange Program, dan tujuanku adalah universitas di Jerman. Akupun mendapatkannya, tiga minggu lagi aku akan terbang ke Jerman dan berada di sana sekitar enam bulan lamanya. Kesempatan langka yang akan aku gunakan semaksimal mungkin untuk mencari informasi tentang universitas dan program beasiswa yang ada di sana. Aku sangat ingin melanjutkan S2 di Jerman, dan ini seperti mimpi yang akan menjadi kenyataan.

Sambil menunggu tiga minggu itu datang, setelah selesai sidang skripsi, aku menghabiskan waktu di rumah, sesekali ke kampus untuk berjalan-jalan melihat setiap sudut yang pernah aku singgahi. Berkumpul bersama teman-teman seangkatan dan seperti saat ini, jajan di kantin bersama sahabat terbaik, Aida.

“Han, inget gak dua tempat yang paling sering kita datangin di kampus?”, kata Aida.

“Hmm. Kantin dan perpus kan?”, jawabku.

“Iya bener. Gak kerasa bentar lagi kita udah selesai kuliah ya. Kamu malah udah mau ke Jerman. Aku disini sendirian dong.”

Continue reading “Jarak – Berpisah”