SIM yang Terlupakan

Siang matahari begitu terik ketika aku dan temanku, sebut saja Nesya akan melakukan perjalanan pulang ke rumah. Perjalanan dari kosan ke rumah sekitar 45 menit. Aku memutuskan untuk nebeng motor Nesya, lumayan lah gratisan daripada ngebis. Setelah berpamitan dengan bapak ibuk kosan, teman-teman kosan dan juga kucing-kucing di kosan, aku dan Nesya memulai perjalanan pulang dengan naik motor M*O Nesya. Sepanjang perjalanan, banyak topik obrolan kami, mulai cerita tentang kosan, curhatan, dan akhirnya nyangkut ke pelajaran. Seketika itu pula, Nesya ingat kalau senin depan dia ada tes matematika dan dia lupa memasukkan buku matematika ke tas. Alhasil, kami pun memutuskan kembali ke kosan untuk mengambil buku matematika itu.

Nesya banting setir ke kanan. Jalur ke kosan yang kami lewati memang sedikit muter-muter karena jalur yang kami lewati itu jalur searah jadi tidak bisa putar arah langsung. Sepuluh menit, kami sampai di kosan, setelah buku matematika dimasukkan ke tas, kami kembali memulai perjalanan pulang. Lagi-lagi perjalanan pulang kami tertunda ketika sekitar dua puluh meter dari kami terlihat sedang ada razia. Aku langsung panik ketika ingat kalau si Nesya ini pelupanya kebangetan jadi kemungkinan besar dia tidak bawa SIM, apalagi pas aku tanya dia bawa SIM apa tidak dia bilang “ga yakin, sepertinya ketinggalan di kosan”. Akhirnya di perempatan depan sebelum razia, kami memutuskan untuk kembali ke kosan (lagi) dan mengambil SIM. Tidak ada cara lain karena waktu itu dompet kami tipis banget jadi tidak punya uang untuk membayar tilang. Nesya kembali banting setir ke kanan, dengan kecepatan maksimal kami meluncur menuju kosan. Tiba-tiba di tengah jalan, tepatnya di depan kantor polisi dekat alun-alun motor kami di suruh berhenti. Alamaaak, ternyata di sini juga ada razia toh. Udah nih, siap-siap pasang muka melas ke pak polisinya. Pak polisi itu meniup peluit sambil mengarahkan tangannya ke kantor polisi yang artinya menyuruh belok ke kantor polisi. Aku sama Nesya langsung deg degan.

Seperti razia-razia lainnya, pak polisi menyuruh Nesya mengeluarkan STNK dan SIMnya. Aku udah cemas banget. Kami mulai bisik-bisikan mencari cara untuk keluar dari jeratan pak polisi. Saat itu, kami menemukan satu ide untuk menghubungi kenalan Nesya yang juga seorang polisi. Ketika Nesya mencoba menelpon, aku dapat tugas untuk mengulur waktu sambil cari-cari alasan. Udah coba telpon beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Akhirnya kami pasrah, mengibarkan bendera putih. Menyerah.

Aku dan Nesya menghitung-hitung uang di dompet, cuma terkumpul 40 ribu rupiah. Entah dapat wangsit darimana tiiba-tiba aku ingat kalau biasanya si Nesya menyimpan uang di dalam jok motor. Dibukalah itu jok motor. Di dalamnya ditemukan sebuah dompet item. Itulah harapan kami satu-satunya. Pas dibuka itu dompet item ternyata TARAAA . . . Tak hanya uang tapi SIM Nesya juga bertengger di sana. Syukurlah, akhirnya kami bisa bebas dari jeratan razia pak polisi. Pak polisi pun dengan besar hati mempersilahkan kami untuk kembali melanjutkan perjalanan. Aku dan Nesya pun tersenyum bahagia kembali melanjutkan perjalanan pulang kami tanpa perlu kembali ke kosan lagi. Sejak saat itu kami tidak akan lagi melupakan SIM kami demi menjaga ketebalan dompet.

Untitled

Tulisan ini diikutsertakan dalam Kinzihana’s Giveaway

Catatan :

Cerita non fiksi, 493 kata.

9 thoughts on “SIM yang Terlupakan

Leave a comment